SWARA – Senator Australia, Fraser Anning, menjadi sasaran pukulan telur oleh seorang anak laki-laki berusia 17 tahun. Sosok anak muda ini seketika menjadi idola di media sosial karena dianggap mewakili kekesalan netizen kepada Anning. Pernyataan Anning terkait peristiwa penembakan di dua Masjid yang terletak di Christchurch, New Zealand dianggap tidak berdasar karena menyalahkan imigran Muslim sebagai penyebab terjadinya kekerasan. Ia menulis, melalui Twitternya @fraser_anning, “Does anyone still dispute the link between Muslim immigration and violence?” dan tweet setelahnya telah dihapus secara permanen oleh Twitter karena menyalahi peraturan Twitter.
Does anyone still dispute the link between Muslim immigration and violence?
— Senator Fraser Anning (@fraser_anning) March 15, 2019
Beberapa akun media sosial memberikan “apresiasi” kepada remaja ini. Mulai dari tawaran menginap di Turki, Ferrari di Arab, hingga tawaran tiket konser gratis diberikan melalui kolom komentar di YouTube ataupun tweet di Twitter.
Berbagai media dunia seperti CNN, Bloomberg, hingga Sky News segera memberitakan peristiwa ini. Indonesia tak ketinggalan, berbagai media online segera memberitakan hal ini dengan berbagai headline. Intinya mereka menganggap remaja ini sebagai pahlawan berkat reaksinya atas komentar intoleran Anning terhadap peristiwa penembakan di Christchurch.
Etika Media dalam Memberitakan Orang di Bawah Umur
Sampai saat ini, media barat tidak memberitakan nama remaja yang memukulkan telur ke kepala Fraser Anning karena alasan melindungi identitas anak di bawah umur dan menghindari stalking berlebihan di media sosial. Namun, kecepatan orang Indonesia dalam mencari identitas patut “diacungi jempol”. Instagram remaja ini telah memperoleh lebih dari 2000 komentar yang didominasi oleh orang Indonesia. Jempol netizen memang sangat cepat dalam memperoleh informasi.
Media barat sangat mengikuti etika jurnalistik, salah satunya tidak mengekspos identitas anak di bawah umur, termasuk di dalamnya menyebutkan nama. Perlindungan identitas bertujuan untuk mencegah bullying, termasuk di dalamnya adalah cyber-bullying.
Benar-benar sangat berbeda bila dibandingkan dengan media lokal yang segera menyebarkan identitas, termasuk di dalamnya adalah akun Instagram dan Twitter, ataupun foto privat untuk disebarluaskan tanpa izin kepada pemilik foto. Di saat orang Indonesia sibuk mencari media sosial sang remaja di bawah umur, orang luar negeri cukup melabeli si remaja sebagai Egg Boy.
Artikel terkait Teknologi: Serba-serbi Berinternet.
Be Kind Online, Yuk Menjadi Orang Baik di Media Sosial
Netflix Hadirkan Feature Baru: Sharing Film ke Instagram Stories
Ingin Tahu Instagram Sesesorang itu Asli atau Palsu? Ini Dia Caranya!
Dalam waktu sepuluh jam sejak peristiwa penembakan, banyak sekali akun Twitter yang mengatasnamakan Egg Boy, padahal si Egg Boy tidak memiliki akun Twitter. Dengan mendompleng keterkenalan Egg Boy, mereka meminta donasi, yang jelas-jelas adalah bentuk penipuan alias scam. Bahkan, akun Instagram Egg Boy yang asli telah dinonaktifkan karena diserbu oleh netizen dan mengganggu privasi.
Yang tersisa sekarang hanyalah akun-akun palsu Egg Boy yang tersebar di berbagai media sosial, sebagian mencari followers, sebagiannya mencari keuntungan berupa uang.
Lemahnya Perlindungan Bagi Anak di Bawah Umur
Internet bisa menjadi teman, ataupun menjadi lawan. Banyak sekali orang tua yang membuatkan akun Instagram bagi anaknya, baik yang masih lucu-lucunya karena baru lahir, hingga yang lagi nakal-nakalnya dengan rentang usia batita dan balita. Mereka seolah tidak menyadari bahwa banyak online predator seperti pedofil, penipuan menggunakan foto anak, hingga bahaya cyber bullying yang mengintai anak.
Pada 2014 silam, McAfee membuat studi Teens and the Screen study: Exploring Online Privacy, Social Networking and Cyberbullying. Riset McAfee menunjukkan bahwa 50% pengguna membagikan alamat emailnya ke media sosial, 30% membagikan nomer teleponnya, 14% membagikan alamat rumahnya, 39% tidak mengaktifkan pengaturan privasi di media sosialnya, dan 52% mengaktifkan GPS nya sehingga orang asing mudah menemukan mereka.
Walaupun 77% remaja sudah mengetahui apa yang telah terpublikasikan online tidak dapat terhapus, dan 80% di antara mereka pernah memperbincangkan keamanan di dunia digital, hal ini tidak membuat mereka melindungi identitas mereka.
Orang tua dapat berjuang untuk melindungi privasi anak mereka, namun sering kali mereka juga tidak tahu apa yang mereka lakukan malah menjerumuskan anak mereka sehingga memperoleh cyber-bullying.
Stacey Steinberg, profesor hukum dari Levin College of Law, University of Florida menulis kisah mengenai hal ini di Emory Law Journal (2017) . Ia mengisahkan seorang blogger yang mengunggah foto anak kembarnya saat sedang buang air secara online. Kemudian foto ini disalahgunakan oleh website berisi pedofil.
Di Indonesia, banyak sekali akun yang “dimiliki” oleh anak yang baru saja lahir, dikelola oleh kedua orang tuanya. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada keluarga selebriti, namun juga orang biasa. Orang tua seakan tidak peduli akan privasi yang dimiliki anak, seakan anak tidak memiliki hak untuk menolak pembuatan akun media sosial atas namanya. Tidak hanya itu, orang berlomba-lomba mengunggah foto anak demi memperoleh reaksi berupa like dan comment tanpa memikirkan resiko yang mungkin saja dialami anak nantinya.
Anak bisa jadi merasa malu saat sudah besar dan tidak sengaja menemukan foto dirinya secara online. Dia bisa saja dibully ataupun memperoleh kerugian yang lain di masa depan akibat identitas yang tidak terlindungi di internet.
Anastasia Galuh Dinung Purwaningtyas