SWARA – Berawal dari modal yang tidak sampai Rp1 juta, Ayu Budiyanti dan suami, Hatta Kresna, membangun bisnis jamu ready-to-drink dalam kemasan, Rahsa Nusantara. Memiliki konsep yang unik, yaitu jamu dalam kemasan botol menjadi tantangan tersendiri. Pada tahun 2016, minuman jamu dalam kemasan pada saat itu masih belum awam di tengah masyarakat.

 

Namun dengan menjunjung nilai-nilai kearifan lokal, pemberdayaan perempuan, dan hidup penuh kesadaran, membawa kesuksesan tersendiri bagi Rahsa Nusantara. 

 

Bagaimana kisah awal bisa membangun bisnis ini?

Sebenarnya memulai bisnis ini sudah mulai dari tahun 2011, tapi waktu itu kami buka kedai wedangan di daerah Fatmawati. Cukup sukses dan selalu ramai, tapi ternyata kami berdua memang nggak terlalu suka dengan kehidupan Jakarta, sampai akhirnya memutuskan berhenti di tahun 2013 awal dan pindah kembali ke Bandung.

 

UMKM #PastiLebihSiap: Manfaatkan Kearifan Lokal, Rahsa Nusantara Kembangkan Budaya Minum Jamu di Era Modern
Ayu Budiyanti dan Hatta Kresna, Pendiri Rahsa Nusantara (source: dok. Rahsa Nusantara)

 

Lalu setelah beberapa bulan vakum, tahun 2014 kami mau coba lagi bisnis wedangan ini di Bandung. Beda dengan Jakarta, ternyata bisnis wedangan di Bandung gagal total dan nggak ada pemasukan sama sekali. Ternyata memang market di Bandung ini berbeda jauh dan salahnya, kami memang nggak survey dulu sebelum memulai. Pikirannya, kan, sama saja kayak di Jakarta.

 

Akhirnya setelah 4 bulan, kami tutup dan memperkuat riset dulu keadaan di lapangan seperti apa. Setelah riset, ada dua hal menarik yang ditemukan. Pertama, di Bandung jumlah Mbok Jamu (pada tahun 2015) itu jumlahnya 1.000 orang dan setiap tahun ada penurunan 20%. Penyebabnya adalah si Mbok Jamu ini nggak mau anak-anaknya jadi tukang jamu kayak mereka. Lebih baik jadi buruh pabrik, karena lebih membanggakan dan nggak capek.

 

Kedua, makin ke sini, konsumen itu makin jarang ada yang di rumah. Kalau nggak ngantor, ya nongkrong sama teman-temannya di cafe. Sehingga ketika mbok jamunya datang, decision maker-nya itu nggak ada dan purchasing power-nya menurun.

 

Lalu para mbok jamu ini kan umurnya sudah nggak muda dan nggak ada penerusnya. Jadi di situlah Rahsa Nusantara masuk supaya budaya minum jamu ini nggak mati di tengah jalan dan bisa dikonsumsi oleh siapa aja. 

 

Hubungan jamu ini dengan pemberdayaan perempuan itu apa ya, mbak?

Tadinya kami berusaha untuk menggandeng mbak-mbok jamu yang ada, tapi sepertinya mereka sudah terbiasa dengan resep sendiri, jadi susah kalau mau diajari dengan cara pembuatan jamu yang lebih higienis. 

 

Akhirnya kami mengajak ibu-ibu yang tinggal di perkampungan sekitar komplek rumah kami, di daerah Kampung Padi. Tujuan awalnya karena pengin membantu mereka yang kondisi finansialnya kacau. Pemasukan sedikit tapi pengeluaran banyak, dan suami juga nggak bisa diandalkan. Sehingga tergeraklah untuk mengajak mereka kerja bikin jamu, sambil mengajari mereka mengatur keuangan.

 

Awalnya cuma ada 3 orang yang ikut dengan kami dan mereka sudah mapan secara finansial. Sampai akhirnya sekarang ada 20 orang yang bekerja dengan kami dan semuanya ibu-ibu perkampungan itu yang pengin kondisi finansialnya maju.

 

Baca juga: UMKM #PastiLebihSiap: Keranjang Veggie Beri Kemudahan Konsumsi Sayuran dan Buah Organik di Tengah Pandemi

 

Di Rahsa Nusantara ada produk apa saja?

Kalau sekarang produknya sudah banyak banget, tapi mungkin aku bisa ngomongin per kategori kali, ya?

 

Pertama itu ada kategori Ready-to-drink, yaitu jamu dalam botolan yang memang dijual di supermarket dan varian jamunya banyak banget. 

 

Yang kedua itu ada Tisane, yaitu keringan rempah-rempah yang bisa diseduh sendiri. Jadi kayak wedang uwuh yang dijual di pasaran. Tapi ini dibuatnya lebih higienis, karena ngeringinnya pakai mesin tapi nggak menghilangkan kandungan nutrisi rempah itu sendiri. Ada 4 varian yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, yaitu Bandrek dari Jawa Barat, Anggur Sultan atau Wedang Uwuh dari Jawa Tengah, Jahe Telang dari Ternate, dan Teh Rempah dari Sumatera.

 

Ketiga itu ada Tamba, yaitu varian jamu dalam bentuk serbuk yang bisa diseduh dengan menggunakan filter. Ada dua varian, yaitu Beras Kencur dan Kunyit Asam.

 

Selanjutnya ada Jagad, yaitu kategori yang bisa dibilang paling favorit di antara semua produk Rahsa. Melejit banget. Jagad ini adalah suplemen yang beda dari produk lain. Biasanya kan suplemen bentuknya kapsul, tapi ini bentuknya cairan, jadi gampang diminumnya dan manfaatnya lebih terasa, karena lebih mudah diserap oleh tubuh. Ada 3 varian, yaitu Sapujagad untuk ningkatin imunitas tubuh, Sekarjagad untuk suplemen kecantikan kaya akan collagen, dan Sapujagad Anak untuk meningkatkan imunitas anak.

 

Kelima ada Rasana, yaitu bumbu siap masak yang terdiri dari 3 bumbu dasar dengan resep kearifan lokal, yaitu Bumbu Putih, Bumbu Merah, dan Bumbu Kuning. Produk ini baru di-launch pas pandemi COVID-19 ini. Jadi pas banget, sekarang banyak yang masak di rumah dan Rasana ini langsung populer di luar sana.

 

Yang terakhir itu kita baru ngeluarin produk terbaru Mestika Rahsa, yaitu produk lulur. Ada 2 varian, Lulur Mandabhumi Teh Hijau dan Lulur Mandabhumi Kunyit.

 

Semua produk yang ada di Rahsa Nusantara itu memang mengangkat local wisdom, atau kearifan lokal dari nenek moyang kita. Karena memang orang jaman dulu itu punya kepercayaan, alam itu sudah menyediakan obat di sekitar kita.

 

Makanya kita pun mengambil bahan rempah dari petani lokal. Karena Rahsa Nusantara itu bahannya organik tanpa pengawet, jadi semua hasil limbahnya itu kami olah lagi jadi pupuk. Hasil pupuknya kami kembalikan lagi ke petani. Di situlah terbentuknya hidup berkesadaran yang memang dijunjung oleh Rahsa.

 

Baca juga: Punya Bisnis UMKM? Ketahui Cara Supaya Bisnis UMKM-mu Tetap Berjalan Selama WFH!

 

Tapi sebelum mulai bisnis ini, Mbak Ayu itu latar belakangnya apa?

Aku itu dulu kuliah jurusan Teknik Industri dan sempat kerja jadi Business Analyst di ATM Bersama. Cuma, pas kerja itu aku rasanya kayak memenjarakan diriku sendiri. Aku harusnya bisa ngelakuin potensi yang lain, tapi terbatas oleh ruang dan waktu. Misalnya jam 3 sore aku sudah selesai kerja, tetap harus tunggu jam kerja selesai supaya bisa pulang.

 

Jadi aku ngerasanya kayak dipenjara aja. Akhirnya aku mutusin buat berbisnis, ya walau bisnis aku banyak yang gagal juga. Mulai dari bikin baju menyusui, baju muslim, tapi gagal semuanya. Tapi justru kegagalan-kegagalan itu yang aku butuhin. Jadi kalau aku nemuin masalah lagi, aku sudah lebih pintar menghadapinya.

 

UMKM #PastiLebihSiap: Manfaatkan Kearifan Lokal, Rahsa Nusantara Kembangkan Budaya Minum Jamu di Era Modern
Ruang Produksi Rahsa Nusantara (source: dok. Rahsa Nusantara)

 

Terus kalau kenapa jamu, ini asalnya karena suami aku. Dia orangnya memang suka ngeracik minuman dan jiwanya old school. Akhirnya kita coba. Awalnya ragu karena kan katanya kalau bikin bisnis itu musti yang sesuai passion, sedangkan walau aku Putri Solo dan kental dengan budaya Jawa, dulu aku sama sekali nggak suka jamu.

 

Tapi balik lagi, memulai ini bukan hanya untuk menjual jamu, tapi untuk memperjuangkan sesuatu, yaitu pemberdayaan perempuan, kearifan lokal, dan hidup berkesadaran. This business is not only about jamu, it’s more than that.

 

Di tengah COVID-19, ada dampaknya untuk bisnis Rahsa Nusantara, kah?

Ada banget! Aku ingat pas tanggal 7 Maret, ketika Pak Jokowi dan Dokter Terawan umumkan kalau COVID-19 sudah masuk Indonesia, semua orang langsung pada panic buying, beli jamu. Penjualan langsung naik dan permintaan langsung naik 20x lipat.

 

Tapi di pertengahan April, permintaan mulai menurun kalau dibanding di bulan Maret itu, walau sebenarnya performance-nya masih bisa dibilang bagus. Ketika bisnis yang lain turun drastis, syukurnya Rahsa Nusantara itu masih on-track.

 

Nah, untungnya si Rasana ini segera keluar di bulan Mei, jadi ngebantu mendongkrak bisnis ini. Awalnya kita rencana mengeluarkan setelah Lebaran, di mana biasanya ART masih pada pulang kampung dan para ibu di rumah jadi harus masak sendiri. Eh, tahunya ada COVID-19 ini, jadi kita buru-buru keluarin Rasana, karena pasti banyak yang butuh. 

 

Yang pasti sejak COVID-19, yang jualan jamu memang jadi banyak, tapi justru asyik karena jadi semakin ramai. Buat kami, semakin banyak kompetitor, berarti marketnya berkembang. Daripada kondisi tahun 2016 yang kita main sendiri tapi kolamnya kecil, mendingan kayak sekarang kita mainnya ramai, tapi kolamnya lebih gede. Yang artinya cangkupan market juga lebih luas. 

 

Balik lagi soal mindset. Banyak yang kalut karena berarti makin banyak persaingan, tapi kalau untuk Rahsa sih, nggak mikir ke situ.

 

Toh, yang dijual bukan cuma jamu sebagai produk tok, tapi juga ada brand value yang kita jual, jadi nggak usah takut kekurangan pelanggan.  Karena kalau brand value-nya sudah kuat, orang akan tetap ingat dengan produk kita, kok. 

 

Baca juga: Apa Saja Program dan Stimulus Pemerintah untuk UMKM Terkena Dampak Corona?

 

Lalu, ke depannya Rahsa Nusantara akan dibawa ke mana lagi nih, mbak?

Dari awal Rahsa Nusantara ini hadir untuk bantu menyelesaikan masalah di era modern ini dengan pendekatan kearifan lokal, sedangkan yang namanya masalah itu pasti akan ada terus. Misalnya dengan adanya COVID-19 ini, kita mikir apa yang bisa kita bantu untuk masalah yang akan ada di depan.

 

Ketika COVID-19 ini reda, orang-orang yang pernah terinfeksi virus ini punya risiko tinggi terkena pneumonia. Jadi kita sekarang memang lagi ngegodok ramuan apa yang kiranya bisa menangani masalah pneumonia di kemudian hari.

 

Terus kalau punya kesempatan ekspan ke luar negeri, misalnya jadi ada rahsa.sg atau rahsa.au, kita tetap akan membuat ramuan yang berdasarkan local wisdom yang dari negara tersebut. Karena kan memang value kami menjunjung kearifan lokal dan setiap negara pasti punya kearifan lokal masing-masing.

 

Buat Kawan Tunaiku yang tertarik dengan produk Rahsa Nusantara, bisa langsung kunjungi website mereka di rahsa.id atau akun Instagram mereka di rahsa.nusantara.