SWARA – Dampak pandemi COVID-19 tidak hanya membuat perekonomian melemah, tapi juga menurunnya sektor pariwisata. Di tengah pandemi, pemerintah beberapa negara menerapkan kebijakan travel bubble sebagai opsi dalam memulihkan kembali sektor pariwisata dan perjalanan internasional yang sempat melemah akhir-akhir ini.

 

Apa itu travel bubble?

 

Istilah travel bubble atau travel corridor atau corona corridor saat ini menjadi perbincangan di dunia pariwisata. Travel bubble dianggap dapat menjadi solusi dalam memulihkan sektor wisata di tengah pandemi.

 

Dilansir dari SMITHSONIANMAG.COM, travel bubble atau gelembung perjalanan adalah kesepakatan negara-negara untuk membuka perbatasan mereka satu sama lain, tapi menutup batasan untuk negara lain. “Jadi orang dapat bergerak bebas dalam travel bubble, tetapi tidak bisa masuk dari negara di luar travel bubble,” kata Per Block, Peneliti Universitas Oxford dalam mobilitas dan metodologi sosial.

 

Simpelnya gelembung perjalanan adalah suatu bentuk kerjasama antar negara untuk mendatangkan pelancong/turis dengan syarat hanya berasal dari negara yang sudah bekerjasama. Negara yang menjadi prioritas gelembung perjalanan yaitu yang sudah berhasil mengurangi Covid-19 atau dalam posisi zona aman. Apalagi sejumlah negara sudah menerapkan new normal. Dengan fase new normal dan diberlakukannya gelembung perjalanan, ada harapan untuk membangkitkan kembali pariwisata yang melemah.

 

Gelembung perjalanan dipelopori oleh tiga negara yaitu Estonia, Latvia dan Lithuania. Ketiga negara tersebut membentuk kemitraan trilateral yang memberikan kesepakatan bagi warga negaranya untuk masuk ke negara tetangga. Proses melakukan perjalanan tersebut yang akhirnya dinamai dengan bubble travel.

 

Dengan diberlakukannya gelembung perjalanan, akan memudahkan kita dalam melakukan perjalanan dan menghindari kewajiban karantina mandiri. Gelembung ini akan memudahkan para traveller untuk melintasi berbagai perbatasan.

 

Baca Juga : Memasuki New Normal di Indonesia, Ini 8 Ide Bisnis yang Berpotensi Berkembang

 

Negara-Negara yang memberlakukan travel bubble

Travel bubble dianggap sebagai salah satu solusi untuk memulihkan kembali pariwisata di tengah pandemi. Banyak negara yang mulai melirik tren ini dan menerapkannya. Dengan inisiatif tersebut, sejumlah negara mempertimbangkan untuk membentuk kerjasama dengan negara-negara tetangga, sebagai peluang untuk menghidupkan kembali berbagai sektor termasuk pariwisata.

 

Tiga negara yang telah menerapkannya yaitu Estonia, Latvia dan Lithuania. Mereka telah membuka perbatasan satu sama lain pada 15 Mei 2020. Selain itu, berikut beberapa negara yang dalam pembahasan untuk memberlakukan gelembung perjalanan.

 

Indonesia – Cina, Korea Selatan, Jepang, dan Australia

 

Dalam rangka membuka kembali sektor pariwisata, Indonesia ingin membentuk travel bubble dengan empat mitranya yang telah dibahas pada rapat terbatas di Istana pada 28 Mei lalu. Hal tersebut disampaikan oleh Odo R.M Manuhutu, Deputi Bidang Koordinasi Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.

 

“Saat ini teman-teman di Kementerian Luar Negeri, bersama kita sedang merancang travel bubble untuk RRT (Republik Rakyat Tiongkok), Korsel, Jepang, dan Australia. Kita buka dulu pelan-pelan dengan empat negara, lalu nanti pelan-pelan untuk negara lain. Dibukanya ini tentu memperhatikan protokol kesehatan,” ujarnya.

 

Odo menjelaskan travel bubble akan digunakan terlebih dahulu bagi para pengusaha untuk perjalanan bisnis. Keempat negara tersebut dipilih sebagai partner karena memiliki investasi yang cukup besar di Indonesia.  “ASEAN selalu menjadi prioritas kita, memang sudah ada pembahasan membuka jalur laut, feri antara Batam dan Singapura,” ujarnya.

 

Cina – Korea Selatan, Hongkong dan Taiwan

 

Cina sedang mempertimbangkan untuk mengizinkan Hongkong, Taiwan dan Korea selatan sebagai partner travel bubble. Cina dan Korea selatan telah menerapkan kebijakan ini sejak Mei 2020 dan dijaga ketat di kota-kota tertentu di kedua negara yang mencakup Seoul dan Shanghai. Selanjutnya diperluas ke Hongkong dan Taiwan yang sudah memasuki zona aman. Inisiatif ini muncul ketika Cina ingin bergegas menyelamatkan perekonomiannya akibat dampak pandemi.

 

Australia – Selandia Baru

 

Australia dan Selandia Baru berencana menerapkan travel bubble. Gelembung perjalanan tersebut akan diberlakukan pada September. Kedua negara ini telah membahas kemungkinan berlangsungnya travel bubble karena disebut paling berhasil memperlambat penyebaran Covid-19 dibandingkan dengan Amerika Serikat, Inggris dan negara di Eropa.

 

Ekonomi kedua negara tersebut sangat bergantung pada pariwisata. Australia merupakan tujuan wisata outbound paling populer. Juga di beberapa Kepulauan pasifik yang terkenal adalah Fiji dan Vanuatu. Oleh sebab itu diharapkan dengan diberlakukannya travel bubble tersebut dapat memulihkan perekonomian di era pandemi. 

Israel – Yunani dan Siprus

Israel tertarik terhadap Yunani dan Siprus dalam melakukan gelembung perjalanan. Dengan ketentuan negara tersebut memiliki jumlah penyebaran corona yang sudah menurun. Israel akan mengizinkan perjalanan walaupun masih belum diluncurkan. Jika kebijakan tersebut berhasil diluncurkan pada Juli, maka percobaan selanjutnya dapat diperluas ke negara lain seperti Australia, Selandia Baru, Singapura, Austria, Republik Ceko, Denmark dan Yunani.

 

Tantangan diberlakukannya travel bubble

Setiap negara mempunyai tantangan yang berbeda dalam mengimplementasikan kebijakan ini. Walaupun solusi ini terlihat menjanjikan dan disambut positif oleh banyak pihak, tapi kebijakan ini tidak dapat diterapkan secara sembarangan.

 

Oleh karena itu Block mencatat bahwa waktu yang paling mudah dalam membentuk travel bubble adalah ketika dua negara tidak memiliki lebih banyak kasus. Dengan demikian, risiko yang timbul akibat mengizinkan pelancong dari negara lain menjadi sangat rendah. Seperti Australia dan Selandia Baru yang hampir mencapai kesepakatan tersebut.

 

Begitu juga dengan Indonesia yang ingin menerapkan kebijakan tersebut dengan Cina, Korea Selatan, dan Australia. Negara tersebut dipilih karena ada pertimbangan banyaknya wisatawan dari sana yang datang ke Indonesia.

 

Seperti yang dikatakan oleh Deputi Bidang Pemasaran Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Nia Niscaya.“ Kita harus dapat memastikan penanganan Covid-19 di masing-masing negara telah teratasi dengan baik. Hal ini penting untuk dapat menimbulkan kepercayaan wisatawan dari masing-masing negara. Trust is the new currency dalam masa kenormalan baru.”

 

Menurut Budijanto Ardiansjah, Ketua Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata (Asita), gelembung perjalanan adalah program yang strategis untuk mendorong kedatangan wisatawan luar negeri. Akan tetapi implementasi rencana tersebut perlu memperhatikan situasi Covid-19 di wilayah terkait.

 

Bagaimana Indonesia dalam menerapkan travel bubble di masa new normal?

Saat memasuki fase new normal, sektor pariwisata berencana untuk menerapkan gelembung perjalanan untuk mempermudah para turis ataupun pelancong keluar masuk Indonesia. Namun sampai saat ini kesepakatan tersebut masih dalam tahap negosiasi dengan beberapa negara yang ditawarkan gelembung perjalanan.

 

Travel bubble memang masih negosiasi, yang mana ketika wisatawan dari titik ke titik bisa dijamin keamanan keselamatannya. Rencananya sih harusnya Juli ini disepakati, “ Kata Odo R.M Manuhutu. Travel bubble sendiri baru bisa dilakukan apabila tingkat infeksi Corona di Indonesia telah berkurang. 

 

Selain Cina, Korea Selatan, Jepang dan Australia, Malaysia juga berminat menerapkan kebijakan tersebut dengan Indonesia. Sebab, Malaysia merupakan salah satu negara penyumbang wisatawan terbesar bagi Indonesia. Dengan demikian Indonesia masih memantapkan rencana tersebut dengan menunggu penyebaran corona mereda.

 

Diharapkan gelembung perjalanan ini dapat menjadi solusi bagi wisatawan dalam bepergian di pasca-pandemi. Juga dapat membantu memulihkan perekonomian negara yang sempat melemah akibat Covid-19.