Di masa pandemi karena COVID-19 ini, semua orang sedang berusaha untuk bertahan secara finansial. Yang masih punya pekerjaan berusaha untuk menata keuangan sebaik-baiknya untuk persiapan ke depan, yang kehilangan pekerjaan berusaha untuk mencari penghasilan tambahan, dan yang memiliki cicilan juga berusaha untuk meminta keringanan dari pihak terkait. Maka bukan hal baru kalau banyak orang yang akhirnya memohon untuk diberikan restrukturisasi kredit atau relaksasi kredit.

 

Apa itu restrukturisasi kredit?

Dikutip dari OJK, restrukturisasi kredit adalah upaya usaha perbankan untuk mempertahankan performa perkreditan dengan cara memberikan kelonggaran pada debitur yang memiliki potensi gagal bayar. Contohnya di masa pandemi COVID-19, perbankan memberikan keringanan bayar bagi nasabah yang memiliki kesulitan membayar cicilan.

 

Hal ini juga bertepatan dengan pernyataan dari Presiden Indonesia, Joko Widodo, pada tanggal 24 Maret 2020, bahwa OJK memberikan kelonggaran atau relaksasi kredit usaha mikro dan usaha kecil di bawah Rp10 milyar, yang pembiayaannya diberikan oleh bank maupun instansi non-bank kepada debitur perbankan.

 

Restrukturisasi yang diberikan juga banyak jenis dan lama penundaannya, mulai dari 3 bulan, 6 bulan, sampai 12 bulan. Hal ini kembali lagi ke kebijakan bank masing-masing.

 

Siapa saja yang bisa mendapatkan restrukturisasi kredit?

Restrukturisasi Kredit Saat COVID-19? Ketahui Dulu Cara Kerja dan Konsekuensinya

 

Menurut POJK Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional, debitur yang berhak mendapatkan keringanan adalah debitur, baik personal atau UMKM, yang memiliki kesulitan untuk membayar cicilan karena debitur atau usaha milik debitur terkena dampak langsung maupun tidak langsung dari penyebaran COVID-19. 

 

Adapun sektor perekonomian yang terkena dampaknya antara lain:

  1. Pariwisata
  2. Transportasi
  3. Perhotelan
  4. Perdagangan
  5. Pengolahan
  6. Pertanian
  7. pertambangan. 

 

Namun, setiap lembaga keuangan memiliki kebijakan sendiri dalam menentukan siapa yang bisa diberikan keringanan berupa restrukturisasi kredit. Jadi kalau memang melalui dokumen-dokumen pendukung terbukti debitur terkena dampak dari COVID-19 ini, kesempatan mendapatkan restrukturisasi lebih besar.

 

Baca juga: Lakukan Cara Ini Agar Keuanganmu Sehat Pasca Pandemi COVID-19!

 

Lalu, opsi seperti apa yang ditawarkan program restrukturisasi kredit ini?

Ada beberapa opsi yang pastinya ditawarkan atau disediakan oleh lembaga-lembaga keuangan, yang kebijakannya pasti berbeda-beda. Bank A dan Bank B bisa saja memiliki kebijakan restruk yang beda, tapi tujuannya tetap sama, yaitu memberikan keringanan bayar bagi debitur dan menjaga performa kredit dari bank tersebut.

 

Beberapa opsi restrukturisasi kredit tersebut antara lain:

 

 

1. Pengurangan nominal cicilan

Opsi ini akan memberikan kamu kesempatan untuk membayar dengan nominal yang lebih kecil per bulannya. Misalnya tiap bulan cicilanmu itu sejumlah Rp1.000.000, tapi karena kamu hanya sanggup bayar setengahnya, maka pihak bank bisa memberikan kamu keringanan dengan membayarkan Rp500.000 per bulan.

 

2. Permohonan penurunan suku bunga

Opsi ini meringankan kamu dari segi bunga. Bunga yang biasanya 3% per bulan, bisa menjadi 2%, tapi pembayaran cicilanmu tetap berjalan.

 

3. Penundaan bayar selama beberapa bulan 

Ada juga opsi untuk menunda pembayaran cicilan sampai periode tertentu, maksimal 12 bulan. Hal ini tergantung dari kebijakan masing-masing bank dan tidak ada aturan pakem dari lembaga pengawas dari OJK.

 

Baca juga: Bagaimana Cara Melindungi Skor Kredit di Masa Pandemi Corona?

 

Risiko ketika mendapatkan restrukturisasi

Restrukturisasi Kredit Saat COVID-19? Ketahui Dulu Cara Kerja dan Konsekuensinya

Pada awalnya, tujuan awal imbauan restrukturisasi kredit itu ditujukan untuk pengusaha UMKM yang usahanya terkena dampak COVID-19. Namun, seiring berjalannya waktu, perlakuan ini juga berlaku untuk retail, atau perseorangan.

 

Yang harus kamu ingat, restrukturisasi kredit atau relaksasi kredit itu bukan berarti jadi bebas merdeka tanpa utang, ya. Utang kamu itu masih ada, tercatat, hanya saja pembayarannya ditunda sampai periode tertentu. Seperti yang disampaikan sebelumnya, ada yang mulai dari 3-12 bulan, tergantung kebijakan lembaga keuangan.

 

Nah, karena utang kamu tidak sepenuhnya hilang, ada beberapa konsekuensi atau risiko yang harus kamu perhatikan, sobats.

 

Yang pertama, durasi cicilan semakin panjang

Misalnya kamu memiliki cicilan selama 12 bulan. Lalu di bulan ke-5, kamu kehilangan pekerjaan karena COVID-19. Jadi, kamu mengajukan penundaan bayar cicilan dan diberikan keringanan selama 3 bulan oleh pihak bank.

 

Total periode cicilan kamu bukan lagi jadi 12 bulan, tapi jadi 15 bulan. Karena, waktu relaksasi selama 3 bulan yang diberikan ini, dipindahkan ke belakang. Sehingga, durasi cicilan kamu jadi lebih panjang. Dan ini, membawa ke konsekuensi selanjutnya.

 

Kedua, beban bunga dan biaya lainnya tetap berjalan

Dilansir dari Bisnis Indonesia, program ini memang bertujuan untuk memberikan ruang bagi debitur agar bisa membayar cicilan sesuai dengan kemampuan. Jika selama restruturisasi berjalan dan pijak bank tidak mengurangi suku bunga dalam perjanjian restruk, maka nasabah bisa membayar lebih mahal.

 

Kok, bisa? Jadi, sejumlah lembaga keuangan melakukan restrukturisasi dengan menggunakan pola anuitas, sehingga pokok dan bunga kembali ke model awal kredit baru dicairkan. 

 

Misalnya Kamu telah menjalankan cicilan sampai di bulan ke-5 dan sisa cicilan tinggal 7 bulan lagi dengan jumlah Rp8,500,000. Nah, sisa Rp8,5 juta ini tidak langsung dibagi sisa 7 bulan, tapi dihitung lagi dari awal seperti cicilan awal dan dikenakan lagi bunga per bulannya.

 

Makanya, kalau kamu ikut program restrukturisasi dan merasa total pinjamannya lebih besar dari sebelumnya, wajar kok. Tapi, ini memang strategi yang awam dilakukan oleh lembaga keuangan mana pun.

 

Terakhir, akan adanya efek balloon payment

Kalau mengutip dari kata-katanya Prita Ghozie, CEO & Financial Planner, pada saat bincang-bincang dengan Femina, restrukturisasi kredit itu punya efek kayak kita meniup balon. Di depannya terlihat kecil, tapi ujungnya itu besar. 

 

Untuk yang mendapat keringanan berupa pengurangan nominal cicilan per bulan, rasanya ringan selama beberapa bulan, tapi kalau periode restruknya selesai dan semua terakumulasi di belakang, ternyata jumlahnya jadi besar seperti yang dijelaskan pada poin sebelumnya. Banyak yang tidak sadar dengan efek ini, sehingga berpikir kalau restrukturisasi adalah solusi segalanya.

 

Baca juga: Masih Berstatus Karyawan? Saatnya Periksa dan Atur Rasio Keuangan di Tengah Pandemi

 

Selama ada penghasilan, sebaiknya tetap membayarkan cicilan

Saya nggak akan bosan untuk bilang ini: tujuan awal pemerintah mengimbau lembaga keuangan mengadakan restrukturisasi kredit adalah untuk memberi keringanan pada nasabah yang terkena dampak langsung dari COVID-19. 

 

Jadi, kalau memang di bulan ini kamu masih memiliki penghasilan, sebaiknya pikir-pikir lagi kalau ingin mengajukan restrukturisasi kredit, karena restrukturisasi kredit itu sifatnya hanya memberikan kelegaan untuk sementara.

 

Semoga artikel ini membantu kamu dalam menentukan pilihan ya. Jangan sampai langkah yang kamu ambil malah membuat kamu terbeban di kemudian hari. Ikuti juga artikel-artikel terbaru Fokus Swara supaya kamu #PastiLebihSiap menghadapi kondisi keuangan selama pandemi ini.Â