SWARA –  “Anak saya diledekin teman-temannya, ‘Komputernya ambil dari museum.’ Padahal pakai ASUS versi terbaru yang core-nya paling kenceng, sementara temen sekelasnya, iya bener-bener kompak, pakai Macbook Air.”

 

“Temen gue mindahin anaknya ke sekolah lain. Kesel do’i. Anaknya nangis diketawain karena sepatunya Asics sedangkan teman-temannya pake sepatu Adidas tipe apa tau.”

 

Jujur, saya tidak begitu bisa relate dengan dua pengalaman yang di-share oleh salah satu akun Instagram financial planner, jouska_id. Bersekolah di daerah sejak kecil, kuliah juga tetap di daerah walaupun merantau, kemandirian adalah poin utama yang ditekankan oleh instansi pendidikan ataupun keluarga sejak kecil.

 

“Di desa yang di-bully biasanya malah yang ga pernah/ga dibolehin mandi di kali/blumbang wkwk.” ungkap akun @altan 212 melalui Twitter.

 

Ada apa dengan kurikulum?

Sebenarnya, penguatan karakter sudah menjadi program prioritas Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Dalam nawa cita, disebutkan bahwa pemerintah akan melakukan revolusi karakter bangsa. Ada lima nilai karakter utama bangsa yang bersumber dari Pancasila yang menjadi prioritas pengembangan karakter yakni religius, nasionalisme, integritas, kemandirian, dan kegotongroyongan. Masing-masing nilai ini harusnya saling melengkapi.

 

 

 

Artikel terkait:

5 Rekomendasi Kelas Teater di Jakarta untuk Calon Aktor Masa Depan

Plus Minus Anak Menjalani Homeschooling yang Harus Kamu Tahu

Rekomendasi Kampus dengan Jurusan Teknik Perminyakan Terbaik di Indonesia

 

 

Sebenarnya kurikulum yang sedang dipakai oleh pendidikan Indonesia bisa dibilang sudah baik, karena tidak berusaha mengesampingkan pentingnya pendidikan karakter. Sebagai suatu muatan pendidikan, kurikulum 2013 yang saat ini sedang dijalankan telah berusaha untuk menjawab kebutuhan anak Indonesia akan pendidikan akhlak yang baik. Namun entah mengapa fenomena bullying berbasis pada kekayaan yang dimiliki oleh orang tua.

 

Tidak sepenuhnya salah anak

Ada beberapa stage yang dialami anak dalam tumbuh-kembangnya, salah satunya adalah play stage. Dalam tahap meniru ini, anak mulai menyadari apa yang dilakukan oleh orang dewasa di sekitarnya. Kemampuan anak untuk menempatkan diri pada kondisi orang lain mulai terbentuk.

 

Sepertinya melimpahkan tanggung jawab mendidik anak hanya kepada instansi pendidikan bukanlah tindakan yang cerdas. Orang tua sebagai tempat pendidikan informal yang pertama kali dikenal anak juga sebaiknya bisa menyadari bahwa tidak semua orang dapat mengikuti standar hidup mereka.

 

Hal ini juga bisa menjadi pertimbangan orang tua dalam memilih sekolah yang berkualitas, pasti ada hal yang perlu dikorbankan. Ada orang tua yang lebih memilih untuk menyekolahkan anaknya di sekolah yang berkualitas untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik walaupun tidak memiliki kemampuan finansial yang cukup. Ada juga yang memilih menyekolahkan anaknya di sekolah yang biasa saja agar anaknya bisa berbaur dengan berbagai kalangan.

 

Orang tua bisa memilih, menyekolahkan anak ke sekolah berkualitas yang sangat mahal sambil mendampingi anak supaya bisa bersikap lebih down to earth, ataukah memilih sekolah yang biasa saja?

 

Kadang bersikap bodo amat terhadap pemikiran anak sangat penting ya..


Anastasia Galuh Dinung Purwaningtyas Anastasia Galuh Dinung Purwaningtyas