Saya dan mereka yang terlahir antara tahun 1980-an hingga 2000 disebut-sebut sebagai generasi millennial. Sebelumnya, mari kita khususkan konsep generasi millennial di sini. Dalam artikel ini tipe generasi millennial yang akan dibahas adalah kami yang berusia 24-an ke atas, masa setelah wisuda S1 dan mulai memasuki dunia kerja.

 

Kami dikenal sebagai sosok yang agak cuek dengan lingkungan sosial, hedon menggilai brand tertentu, tergantung dengan teknologi dan media sosial.  Karena saking ketergantungannya kami dengan media sosial, tanpa disadari kami jadi sering nongkrong di sana-sini, belanja ini itu, dan hal-hal menghamburkan uang lainnya.

 

Sebagai salah satu yang disebut generasi ini, saya mengamini anggapan tersebut. Saya mulai menyadari tentang kondisi ini semenjak tercatat sebagai banker di salah satu bank swasta dengan penempatan Yogyakarta. Pulang malam karena lembur dan memenuhi undangan nongkrong sudah jadi kebiasaan saya sehari-hari. Awalnya saya menganggap acara seperti ini tidaklah penting. Namun seiring berjalannya waktu, atas dasar ‘ngumumi’ dan management stress atas tekanan pekerjaan, akhirnya saya pun terkena arus.

 

Tidak dipungkiri dalam hal keuangan kami lebih aman (bukan mapan) daripada tahap sebelumnya. Jika sebelumnya tidak mampu membeli barang dengan brand tertentu, kini terasa (agak) mudah bagi kami. Alhasil kami sering nongkrong, liburan hedon (bukan backpacking) saat weekend, belanja produk-produk fashion baik online maupun langsung, hingga saya pun menyadari memang benar seperti inilah label untuk generasi kami.

 

Tanggung Jawab Pada Keluarga

Teruntuk generasi millennial sendiri tanggung jawabnya cukup menantang di usia 24-an ini. Begitu lulus dan memasuki dunia kerja kami memiliki tanggung jawab di keluarga, lingkungan pekerjaan, dan juga lingkungan sosial. Sedangkan tanggung jawab utama itu tertuju pada keluarga, terutama orang tua yang telah membesarkan dan membiayai kami selama ini. Tanggung jawab kami adalah memastikan mereka bahwa kami sukses dalam karir, mampu berkontribusi untuk masyarakat, memiliki hubungan asmara yang bukan lagi main-main, dan mapan secara finansial.

 

Berbicara masalah mapan di sini memang menarik. Sudah saatnya kami mulai berkontribusi kepada keluarga dari segi finansial. Orang tua kami, tentu tidak pernah meminta balasan atas apa yang telah mereka berikan. Hanya saja, saat kami membatu biaya sekolah adik, menyokong keperluan rumah tangga, ada rasa senang dari orang tua karena mereka tahu, anak mereka sudah tumbuh menjadi anak yang lebih dewasa dan peduli.  

 

Menginjak Masa Emas Berinvestasi

Kebanyakan generasi millennial memang terlena atau justru ‘kaget’ dengan status baru sebagai pekerja beserta lingkungan barunya. Dari yang awalnya mereka hanya bisa mengandalkan kiriman orang tua, kemudian memiliki penghasilan dalam jumlah tertentu yang cukup menggiurkan, hasrat untuk menggunakannya untuk hal-hal yang sebelumnya tidak bisa dilakukan pun muncul.

 

Sekali, dua kali, bahkan beberapa kali boleh saja, asal dalam takaran yang wajar. Tapi jika sudah melebihi batas normal, bisa-bisa gaji sebulan saja langsung habis di bulan tersebut untuk memenuhi gaya hidup. Yang jadi pertanyaan di sini adalah seberapa jauh kesadaran kami untuk berinvestasi dan seberapa banyak yang sudah bisa diinvestasikan. Untuk mengingatkan, mari kita tilik lagi salah satu tanggung jawab sebagai generasi millennial, mapan secara finansial.

 

Saya kerap mendengar cerita teman bahwa mereka tidak atau belum memiliki tabungan padahal sudah bekerja satu hingga tiga tahun. Sedangkan masa ini adalah masa terbaik untuk membalas kebaikan orang tua. Ini juga menjadi masa emas untuk mulai berinvestasi. Alokasi dana kebutuhan di tahap ini tidaklah seberapa bila dibandingkan dengan tahap selanjutnya (kehidupan berumahtangga contohnya).Lalu, ketika saat ini sudah berpenghasilan dan dana yang dikeluarkan belum begitu banyak, kenapa tidak dimuai untuk menabung dan berinvestasi?

 

Seiring perjalanan waktu, saya mulai tertarik memanfaatkan hobi-hobi untuk menambah penghasilan. Yang demikian bisa menjadi management stress sekaligus menambah saldo tabungan bahkan investasi. Kalau ada cara management stress yang tidak menghamburkan tapi justru menghasilkan uang, kenapa tidak dicoba? Begitu pun dengan generasi millennial lainnya. Bukankah generasi millennial selalu memiliki ide-ide segar dan sesuatu yang unik? Mereka pun bisa memanfaatkan hal tersebut, menggali dan mengembangkannya untuk mendapatkan kebermanfaatan dirinya dan juga lingkungan.  

 

Mau jadi tipe seperti apa dalam sebutan suatu generasi, hanya kita sendiri yang bisa menentukan. Sekuat apapun lingkungan mengarahkanmu, hanya kamu sendiri yang bisa menancap pedal rem. Dan hanya tindakan kita juga yang membenarkan atau menyalahkan atas suatu label dalam generasi.

 

Swara Kamu merupakan wadah untuk menyalurkan inspirasi, edukasi, dan kreasi lewat tulisanmu. Kamu bisa menyampaikan pendapat, pemikiran, atau informasi menarik seputar finansial dan karier. Ingin ikut berbagi inspirasi? Langsung daftarkan dirimu sebagai penulis Swara Kamu di sini!