SWARA KAMU – Secara garis besar, bank berfungsi sebagai mediasi bidang keuangan atau penghubung pihak yang kelebihan dana (surplus fund) dengan pihak yang kekurangan dana (deficit fund) karena secara umum bank menghimpun dana dari masyarakat baik dalam bentuk tabungan, giro, atau simpanan lainnya kemudian menyalurkan dana tersebut kepada yang membutuhkan dalam bentuk pinjaman, dan sebagainya. Itulah sebabnya sering dikatakan fungsi bank sebagai mediasi bidang keuangan. Di samping sebagai mediasi bidang keuangan, bank memiliki fungsi sebagai penyedia jasa layanan dalam bentuk transfer, inkaso, kliring, dan lain-lain.
Adapun dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah, pasal 4 dijelaskan bahwa fungsi bank syariah sebagai berikut.
- Bank syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS) wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat
- Bank syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga Baitul Maal¸ yaitu menerima dana yang berasal dari ZISWAF (Zakat, Infaq, Sedekah, dan Wakaf) atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat
- Bank syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (Nadzir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (Wakif).
- Pelaksanaan fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam beberapa hal, bank syariah dan bank konvensional memiliki persamaan terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi komputer yang digunakan, syarat-syarat umum memperoleh pembiayaan seperti KTP, NPWP, proposal, laporan keuangan, dan sebagainya. Akan tetap terdapat banyak perbedaan mendasar di antara keduanya. Perbedaan tersebut menyangkut sistem operasional, cara mengelola dana, cara membagi keuntungan dan metode transaksi.
Berbicara tentang bank syariah berarti tidak pernah terlepas dari agama Islam. Dewasa ini, masih terdapat anggapan bahwa Islam menghambat kemajuan, termasuk perkembangan perekonomian. Seolah-olah Islam merupakan agama yang hanya berkaitan dengan masalah vertikal kepada Tuhan saja, bukan sebagai suatu sistem yang dapat menangani masalah pembangunan ekonomi serta industri perbankan. Padahal, selain membahas tentang hubungan vertikal kepada Allah, Islam juga mengajarkan hubungan horizontal kepada sesama manusia atau yang sering disebut dengan bermuamalah.
Seperti yang kita ketahui, Indonesia bukanlah negara muslim seperti halnya Timur Tengah walaupun berdasarkan data dari Globalreligiousfutures, jumlah penduduk muslim di Indonesia pada tahun 2010 sebanyak 209,12 juta jiwa atau setara 87,17 persen dari total penduduk yang mencapai 239,89 juta jiwa dan merupakan salah satu penduduk muslim terbanyak di dunia. Namun, masih banyak masyarakat awam yang kurang familiar mengenai bank syariah. Banyak masyarakat menganggap bahwa bank syariah dan bank konvensional sama saja bahkan return bank syariah lebih besar daripada bank konvensional. Tidak bisa dipungkiri bahwa peminat bank konvensional masih sangat tinggi dibandingkan dengan bank syariah mengingat bank konvensional lebih mudah ditemukan dan telah berdiri sejak lama bahkan jauh-jauh hari sebelum bank syariah masuk ke Indonesia.
Bank Syariah yang pertama sekali berdiri di Indonesia adalah PT Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang resmi berdiri pada November 1991. Sayangnya, keberadaan bank syariah saat itu belum mendapatkan perhatian yang optimal dalam tatanan industri perbankan Indonesia mengingat pencerminan dari UU No. 7 Tahun 1992 hanya mengategorikan bank syariah sebagai “bank dengan sistem bagi hasil” saja tanpa menjelaskan kategori-kategori usaha yang diperbolehkan. Kemudian, UU tersebut disempurnakan pada tahun 1998 menjadi UU No. 10 Tahun 1998 yang menyatakan adanya dual banking system dalam industri perbankan di Indonesia, yakni sistem perbankan konvensional dan sistem perbankan syariah. UU No. 10 Tahun 1998 juga mengeluarkan fatwa bahwa bunga bank haram sehingga pada tahun 2003 banyak bank-bank yang menjalankan prinsip syariah dengan melakukan konversi dari konsep konvensional menjadi syariah dan ada juga bank konvensional yang membuka cabang syariah sehingga berdirilah Bank Perkreditan Rakyat Syariah atau dikenal dengan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) untuk menghindari sistem ribawi yang dengan jelas telah diharamkan dalam QS. Al-Baqarah ayat 275. Ayat tersebut berisi keterangan bahwa Allah swt. telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Pada ayat ini pula Allah swt. menyebutkan bahwa mereka yang makan harta riba tak akan bisa berdiri melainkan berdiri layaknya orang yang kerasukan setan atau lantaran penyakit gila.
Selain itu, kesuksesan bank syariah yang dapat mengatasi dampak krisis moneter pada tahun 1997-1998 juga menjadi pemicu utama pengkonversian bank konvensional menjadi bank syariah. Pasalnya, bank syariah dapat bertahan dan semakin tumbuh pesat pada saat krisis ekonomi tersebut. Hal tersebut dapat terjadi karena dalam pengoperasiannya, bank syariah tidak mengenal adanya riba atau suku bunga melainkan adanya prinsip bagi hasil dan bagi rugi. Resiko bisnis harus ditanggung oleh kedua pihak yang bekerja sama. Keuntungan akan dibagi berdasarkan proporsional atau berdasarkan kesepakatan pada saat akad dan kerugian pun akan ditanggung bersama.
Meninjau sistem operasional bank syariah pastinya berdasarkan syariat islam yang telah dikeluarkan melalui fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sementara dalam bank konvensional, hal tersebut tidaklah berlaku. Dalam perbankan syariah juga dikenal adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar berjalan sesuai dengan prinsip syariah. Biasanya, penetapan anggota Dewan Pengawas Syariah dilakukan pada saat Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), setelah para anggota Dewan Pengawas Syariah itu mendapatkan rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional (DSN). Adapun Dewan Syariah Nasional (DSN) dibentuk pada tahun 1997 dengan dasar untuk mewaspadai adanya fatwa yang berbeda dari masing-masing Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang dapat membingungkan nasabah. Sedangkan dalam bank konvensional, sama sekali tidak terdapat Dewan Pengawas Syariah, Dewan Syariah Nasional maupun dewan sejenisnya.
Bagaimana jika terjadi sengketa antara bank dan nasabahnya? Pada bank syariah, perbedaan atau perselisihan diselesaikan melalui musyawarah mufakat terlebih dahulu, baru kemudian melalui pengadilan agama. Bank syariah juga memiliki lembaga penyelesaian sengketa yang mengatur hukum materi dan atau berdasarkan prinsip syariah di Indonesia yang dikenal dengan nama BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional) sedangkan panda bank konvensional, sengketa akan langsung diselesaikan melalui jalur hukum pengadilan negeri.
Untuk lebih detailnya, perbedaan bank syariah dan bank konvensional disajikan dalam tabel berikut.
No | Kategori | Bank Syariah | Bank Konvensional |
1 | Hukum | Berdasarkan Al-Quran dan Hadits | Berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia (Perdata dan Pidana) |
2 | Jenis Investasi | Jenis usaha yang halal saja | Semua bidang usaha, baik halal maupun haram |
3 | Sistem Operasional | Prinsip bagi hasil, jual beli, dan sewa | Perangkat riba |
4 | Orientasi | Profit (keuntungan), kemakmuran dan kebahagiaan dunia akhirat | Profit semata |
5 | Benrtuk hubungan dengan nasabah | Hubungan kemitraan | Debitur-kreditur |
6 | Keuntungan | Bagi hasil | Dari Bunga |
7 | Dewan Pengawas | Memiliki Dewan Pengawas Syariah untuk mengawasi penghimpunan dan penyaluran dana | Tidak terdapat dewan sejenis |
Uraian di atas adalah beberapa perbedaan mengenai perbankan syariah dan perbankan konvensional. Pertanyaannya, sama atau berbedakah keduanya? Jelas berbeda! Semoga bermanfaat dan dapat menambah wawasan mengenai perbedaan bank syariah dan bank konvensional.
Sumber:
Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani
Harahap, Sofan S; Wiroso; Muhammad Yusuf. 2005. Akuntansi Perbankan Syariah. Jakarta: LPFE Usakti
Swara Kamu merupakan wadah untuk menyalurkan inspirasi, edukasi, dan kreasi lewat tulisanmu. Kamu bisa menyampaikan pendapat, pemikiran, atau informasi menarik seputar finansial dan karier. Setiap artikel Swara Kamu menjadi tanggung jawab penulis karena merupakan opini pribadi penulis. Tim Swara tidak dapat menjamin validitas dan akurasi informasi yang ditulis oleh masing-masing penulis.
Ingin ikut berbagi inspirasi? Langsung daftarkan dirimu sebagai penulis Swara Kamu di sini!