SWARA – Beberapa waktu yang lalu, demam batu akik menyerbu tanah air. Batu-batu ini menjadi buruan, harganya pun melonjak luar biasa. Sebelumnya, ada pula demam ikan louhan dan tanaman hias gelombang cinta.

 

Apa yang sama dari ketiganya? Ya, harga ketiganya melejit ke nilai yang nggak rasional untuk waktu sesaat, lalu kembali jatuh ke harga normal ketika trennya menghilang. Inilah salah satu ciri dari monkey business. Nah, biar kamu nggak ikutan terjebak bisnis bodong ini, yuk kenali dulu apa itu monkey business!

 

Mari simak dulu sedikit ilustrasi sederhana tentang bagaimana monkey business bekerja

 

Alkisah, seorang kaya raya pindah ke sebuah desa di pinggir hutan. Orang kaya itu mengumumkan akan membeli monyet seharga Rp 50 ribu per ekornya. Warga desa, yang menganggap bahwa monyet di sana tidak berharga dan menjadi hama, nggak berpikir dua kali untuk menangkapi dan menjual monyet-monyet tersebut ke si orang kaya.

 

Setelah ribuan ekor berhasil ditangkap, jumlah monyet pun jauh berkurang. Si orang kaya pun menaikkan harga beli hingga jadi Rp 150 ribu per ekor agar penduduk desa kembali semangat menangkapi monyet-monyet di hutan sampai mereka habis sama sekali. Setelahnya, si kaya kembali mengumumkan akan menaikkan harga beli sampai Rp 500 ribu per ekor.

 

Suatu hari, si orang kaya pergi ke kota dan digantikan oleh asistennya. Si asisten ini menunjukkan kurungan yang penuh dengan ribuan monyet ke warga desa. Ia berkata, “saya akan jual monyet-monyet itu secara diam-diam kepada kalian seharga Rp 350 ribu, nantinya kalian bisa menjualnya ke tuan saya seharga Rp 500 ribu dan mendapatkan untung dengan mudah.”

 

Dengan polosnya, warga desa pun membeli semua monyet tadi dengan tabungan mereka. Tapi, malang tak dapat ditolak, si orang kaya dan asistennya nggak pernah lagi menampakkan batang hidungnya di desa itu.

 

Monkey business nggak lebih dari sekadar permainan segelintir pemodal besar

 

Nah, sekarang coba kamu ganti kata ‘monyet’ di atas dengan ikan louhan, tanaman gelombang cinta, atau batu akik. Itulah monkey business. Bisnis ini tak lebih dari skenario mafia bisnis bermodal besar, yang mendesain agar suatu komoditas memiliki harga tertentu yang jauh melebihi harga pasar.

 

Pelaku-pelaku monkey business ini memanfaatkan kepercayaan dan keserakahan kita untuk menggiring opini agar komoditas ini menjadi tren yang digilai banyak orang. Dengan tingginya permintaan, otomatis harganya akan merangkak naik dan barang pun akan semakin langka di pasaran.

 

Setelah harganya mencapai target para pelaku monkey business, mereka pun segera melepaskan persediaan mereka ke pasaran dan mengambil keuntungan dari sana. Sesuai hukum penawaran dan permintaan, bila stok barang di pasaran membludak, nilainya pun akan turun ke harga wajar mengikuti mekanisme pasar.

 

Mengapa monkey business disebut sebagai investasi bodong?

 

Di mata pehobinya, komoditas seperti ikan louhan, anthurium jemani, dan batu akik jelas punya nilai tersendiri. Sebaliknya, mereka yang nggak hobi jelas nggak akan menganggapnya sebagai sesuatu yang berharga. Makanya, nilai dari komoditas-komoditas tersebut sebenarnya hanya didasarkan pada penilaian subjektif semata, karena sebenarnya mereka nggak memiliki manfaat ekonomis apa-apa.

 

Tapi, pelaku monkey business mampu menggiring mereka yang bukan pehobi untuk membelinya juga dengan harga di atas normal. Ini terjadi karena penggiringan opini tadi. Beranggapan bahwa benda-benda ini adalah investasi yang menguntungkan, mereka pun berlomba-lomba menimbunnya buat dijual lagi. Padahal, siapa yang mengira bila mereka tengah dijebak oleh keserakan mereka sendiri. Ketika merugi, mereka cuma bisa gigit jari.

 

Coba bayangkan bagaimana mungkin tanaman yang bisa layu dan mati sampai dihargai hingga milyaran rupiah? Para pehobi saja tahu kalau harga segitu kemahalan, kok. Kalau barang tertentu tiba-tiba ngetren tanpa bikin sensasi di infotainment dan harganya sampai melejit nggak karuan, waspada saja, kemungkinan besar itu adalah monkey business.

 

Coba lihat lagi nasib tiga komoditas yang jadi contoh di atas. Mereka cuma ngetren selama sekitar 2 tahun. Setelah itu, semua kembali normal. Lalu, bandingkan dengan harga emas yang dari dulu sampai sekarang stabil bahkan cenderung naik. Komoditas monkey business dan investasi betulan punya perbedaan fundamental yang sebenarnya gampang dicermati jika kita mau berpikir secara jernih.

 

Ikan louhan bukan yang pertama, dan batu akik jelas bukan yang terakhir. Apapun wujud komoditasnya, jangan sampai terkecoh dengan monkey business. Yuk, alihkan uangmu untuk investasi yang sudah pasti keuntungannya seperti emas atau reksadana! Kalau kamu punya pengalaman terjerumus dalam tren monkey business ini, bagikan ceritamu di kolom komentar, ya.