Dunia sedang dilanda virus bernama Novel Corona atau yang biasa dikenal dengan virus Covid-19. Bermula dari sebuah kota yang bernama Wuhan di negeri Tiongkok, virus itu kini telah menyebar hampir ke seluruh penjuru dunia, tak terkecuali Indonesia. Banyak hal yang terdampak dari hadirnya virus tersebut. Tidak hanya dari sektor kesehatan saja, melainkan sektor kehidupan yang lainnya juga terdampak seperti sektor pertanian, sektor pariwisata, dan sektor terbesar yaitu sektor perekonomian.
Akibat berkembangnya penyebaran virus Covid-19, pertumbuhan ekonomi di Indonesia kian mengalami penurunan sehingga dapat memengaruhi performa kinerja perbankan dan menimbulkan ketidakstabilan sistem keuangan negara. Dampak tersebut juga sangat dirasakan oleh sebagian masyarakat yang memiliki usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Maka dari itu, pemerintah membuat kebijakan stimulus perokonomian sebagai countercyclical dari dampak penyebaran Covid-19. Kebijakan ini dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk menghindari penurunan daya beli masyarakat, mengendalikan resiko Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), serta mempertahankan produktivitas ekonomi dan masyarakat.
Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020. Kebijakan tersebut berisi pemberian relaksasi kredit oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan nilai di bawah Rp 10 miliar untuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Bentuk dari relaksasi kredit tersebut berupa penurunan suku bunga, perpanjangan jangka waktu, pengurangan tunggakan pokok, pengurangan tunggakan bunga, penambahan fasilitas kredit/pembiayaan, dan konversi kredit/pembiayaan menjadi Penyertaan Modal Sementara. Peraturan ini berlaku bagi bank umum konvensional, bank umum syari’ah, unit usaha syari’ah, bank perkreditan rakyat, dan bank pembiayaan rakyat syari’ah, di mana sebanyak 74 dari 101 bank yang terdaftar telah merestrukturisasi kredit kepada 1.019.334 debitur yang terkena dampak pandemi Covid-19. Kebijakan relaksasi kredit ini diberikan kepada debitur atau usaha debitur yang terkena dampak penyebaran Covid-19 termasuk debitur UMKM yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban pada bank karena terkena dampak langsung ataupun tidak langsung pada sektor ekonomi yang bergerak di bidang pariwisata, transportasi, perhotelan, perdagangan, pengolahan, pertanian, dan pertambangan.
Dalam penerapan ataupun skema relaksasi kredit tersebut, setiap bank memiliki cara yang bervariasi untuk menentukan kebijakan masing-masing berdasarkan penilaian profil nasabahnya, mana yang membutuhkan restrukturisasi berat, sedang, ringan, ataupun yang tidak memerlukan restrukturisasi sama sekali, serta kapasitas kemampuan pembayaran debiturnya. Bank akan memberikan bantuan secara proaktif kepada debiturnya dengan menawarkan skema restrukturisasi yang tepat, baik dari sisi jangka waktu, besaran cicilan ataupun relaksasi bunga.
Kebijakan ini pada awalnya disambut dengan baik dari pihak perbankan maupun masyarakat. Pihak perbankan akhirnya dapat mengatasi risiko kredit macet dengan menyeleksi pengajuan pinjaman sehingga tetap mampu bertahan di tengah pandemi ini. Dengan adanya kebijakan ini, pihak perbankan bisa mengurangi potensi rasio kredit bermasalah, mengurangi tekanan likuiditas, dan permodalan. Masyarakat pun mendapatkan keringanan dari pihak perbankan dengan persyaratan tertentu yang harus dipenuhi dan dibutuhkan kejujuran terhadap kondisi yang tengah dihadapi dan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk menghindari tanggung jawab yang harus diselesaikan (bagi mereka yang masih mampu untuk membayar cicilan).
Pada kenyataannya, implementasi dari peraturan tersebut tidak bisa dijalankan secara utuh, karena masih banyak bank dan lembaga keuangan lainnnya yang belum menerapkan POJK tersebut. Mereka memiliki pertimbangan tentang substansi peraturannya yang masih multitafsir dan tidak bisa berlaku final sebagai peraturan, mengingat sifat dari peraturan adalah memberi pedoman dan melahirkan konsekuensi. Peraturan tersebut menjelaskan bahwa penilaian pemberian restrukturisasi kredit di masa pandemi, dilihat berdasarkan kualitas asetnya. Padahal sebelum adanya pandemi ini, kebijakan kredit atau pembiayaan dilandasi juga pada penilaian kualitas asetnya sehingga tidak ada langkah stimulus yang diterapkan dalam peraturan ini untuk menghadapi masa pandemi.
Tidak hanya itu saja permasalahan yang dihadapi, permasalahan lainnya timbul dari keresahan masyarakat pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang sulit mendapatkan keringanan kredit tersebut dikarenakan telah kehilangan pekerjaan dan penghasilan sehingga sulit untuk memenuhi kewajiban pembayaran kredit. Sementara itu di sisi lain Debt collector masih melakukan penagihan kepada masyarakat yang membutuhkan relaksasi kredit tersebut.
Implementasi peraturan tersebut berbeda jauh dari apa yang disampaikan oleh presiden. Menurut masyarakat, hal ini bisa disebabkan oleh kurangnya pengawasan intensif dari pemerintah yang mengakibatkan banyaknya pihak bank dan lembaga keuangan lainnya yang mengabaikan peraturan tersebut. Selain itu, masyarakat juga mengalami kesulitan dalam memenuhi persyaratan administrasi untuk mendapatkan keringanan kredit. Bahkan, ada pihak lembaga keuangan yang meminta biaya administrasi untuk pengajuan relaksasi kredit tersebut yang menyebabkan masyarakat merasa semakin kesulitan.
Tetapi keluhan dari masyarakat tersebut dibantah oleh pihak bank dan lembaga keuangan terkait. Mereka menilai masih banyak masyarakat yang sebenarnya masih mampu untuk membayar kreditnya, justru mengajukan keringanan. Pihak bank dan lembaga keuangan akan menganalisa terlebih dahulu terkait kemampuan usaha nasabahnya, dan dikomparasikan terhadap kewajiban-kewajiban yang harus diselesaikan nasabah untuk menentukan bentuk keringanan yang akan diberikan kepada nasabahnya sesuai dengan kemampuan pihak bank dan nasabah. Pihak bank berharap masyarakat tidak menghiraukan kebijakan relaksasi kredit ini dan jangan sampai tidak membayar kewajibannya sama sekali. Debitur tetap harus membayar bunga karena pihak bank membutuhkan dana masyarakat yang berupa giro, tabungan, dan deposito sebagai sumber dana untuk membayar bunga kepada masyarakat yang menyimpan uangnya di bank.
Bukan hanya debitur atau usaha debitur saja yang mengalami permasalahan, tetapi pihak perbankan pun juga memiliki permasalahan serupa terkait masalah kredit ini. Pihaknya tidak ingin mengalami kerugian jika debitur mulai tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya dikarenakan sektor usahanya yang terganggu. Hal ini bisa berdampak pada peningkatan rasio kredit bermasalah atau Non-Performing Loan (NPL). Pihak perbankan juga mengeluhkan adanya resiko dikarenakan pasar yang masih tidak stabil dan akan berpengaruh pada nilai tukar rupiah.
Selain risiko yang telah disebutkan, permasalahan selanjutnya dialami oleh pihak perbankan. Pihak bank mengeluhkan bantuan pemerintah yang tak kunjung datang sehingga merasa menangani masalah ini sendiri tanpa ada keterlibatan pemerintah. Menurutnya, pemerintah seharusnya memberikan stimulus untuk perbankan yang nantinya dapat disalurkan ke debitur. Stimulus tersebut dapat berupa pinjaman ke bank, dimana besaran pinjaman tersebut senilai dengan relaksasi yang diberikan bank kepada debitur.
Kebijakan ini bisa disimpulkan dapat membahayakan bila tidak dikelola dengan baik, mengingat kebijakan relaksasi kredit ini justru berpotensi mengurangi keuntungan perbankan dan tidak menyelesaikan beban pihak bank. Perlu adanya kebijakan stimulus lain bagi penjaminan likuiditas bank, selama pandemi ini belum bisa diprediksi kapan akan segera berakhir.
Swara Kamu merupakan wadah untuk menyalurkan inspirasi, edukasi, dan kreasi lewat tulisanmu. Kamu bisa menyampaikan pendapat, pemikiran, atau informasi menarik seputar finansial dan karier. Setiap artikel Swara Kamu menjadi tanggung jawab penulis karena merupakan opini pribadi penulis. Tim Swara tidak dapat menjamin validitas dan akurasi informasi yang ditulis oleh masing-masing penulis.Â
Ingin ikut berbagi inspirasi? Langsung daftarkan dirimu sebagai penulis Swara Kamu di sini!