Dunia semakin modern, teknologi semakin maju, gaya hidup mengikuti perkembangan zaman, tetapi kenapa pola pikir masih berdiam diri dan tidak mau bergerak maju? Tenggelam dalam budaya patriarki, dimana lelaki dianggap sebagai superior, lalu sebaliknya, perempuan dianggap inferior.
Ketimpangan gender tersebut mengakibatkan munculnya permasalahan gender di dunia ini, salah satunya yaitu kekerasan seksual yang muncul di segala situasi dan tempat.
Pelaku kekerasan seksual ini seperti tidak mengenal kata ampun, mereka menjadi hama yang merusak harga diri korban-korban nya.
Akhir-akhir ini marak terjadi kasus kekerasan seksual di Indonesia, yang tidak mengenal tempat, entah itu di tempat umum, di sekolah, atau bahkan di pesantren.
Fenomena Kekerasan Seksual
Banyaknya kasus kekerasan seksual yang dilakukan kepada para perempuan tersebut seharusnya menjadi peringatan bagi keluarga yang memiliki seorang istri, anak, kakak, atau adik perempuan.
Tetapi, masih ada pelaku kekerasan seksual yang merupakan anggota keluarga dari korban, alih-alih memilih untuk menjaga anggota keluarga perempuan, mereka justru menjadi pelaku dalam kasus tersebut.
Hal ini dibuktikan oleh data yang diberikan Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dari tahun 2010 – 2014 menyatakan bahwa 30% pelaku kekerasan seksual pada anak adalah anggota keluarganya. Hal Ini menjadi sebuah bukti, bahwa kasus kekerasan seksual bisa muncul darimana saja, oleh siapa saja, dan dimana saja.
Meskipun begitu, tidak menutup kemungkinan bahwa laki-laki lah yang menjadi korban dalam kasus kekerasan seksual tersebut.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak melaporkan bahwa sebanyak 1.757 korban kekerasan seksual terjadi pada laki-laki dan 10.509 terjadi pada perempuan. Hal tersebut menandakan bahwa perempuan lah yang banyak menjadi korban.
Dilaporkan oleh Komnas Perempuan, CATAHU 2022 mencatat adanya kasus kekerasan berbasis gender kepada perempuan yaitu sebanyak 338.496.
Banyaknya data kasus tersebut menunjukkan bahwa perempuan masih dianggap sebagai sosok yang lemah dan hanya dijadikan pemuas nafsu saja.
Pandangan Soal Kekerasan Seksual yang Perlu Dihilangkan
Adanya budaya patriarki yang menganggap bahwa laki-laki memiliki kuasa penuh akan segala hal, menjadi salah satu penyebab terjadinya kekerasan seksual.
Lalu, ketika kekerasan seksual ini terjadi, siapa yang paling banyak dirugikan? Sudah pasti perempuan. Masih banyak sekali orang yang menyalahkan perempuan atas terjadinya kasus kekerasan seksual ini.
“Makanya, pakai baju jangan yang terbuka!”
“Halah, dia nya aja gak nolak, kok!”
“Kenapa gak lapor dari awal aja? Udah hamil baru lapor.”
Bukankah seharusnya kita semua fokus kepada pemulihan fisik dan psikologis korban, lalu fokus kepada pemberian hukuman kepada pelaku? Karena nyatanya, pakaian yang dipakai korban tidak melulu terbuka, lagipula kalau pakaian korban terbuka, itu juga bukan merupakan kesalahan, melainkan hak mereka untuk memilih pakaian yang membuatnya nyaman.
Lalu, bagaimana korban mau segera melapor, jika reaksi dari orang terdekat dan orang di sekitarnya itu negatif. Budaya seperti inilah yang seharusnya dihilangkan, kenapa harus perempuan yang dituntut untuk menjaga cara berpakaiannya? Kenapa tidak laki-laki yang seharusnya dituntut untuk menjaga nafsu dan pikirannya? Apakah hanya laki-laki yang berhak mendapatkan kenyamanan dan kebebasan di segala hal? Bukankah semua manusia memiliki kewajiban, hak, serta kedudukan yang sama?
Perempuan Bukan Makhluk Lemah
Perempuan tidaklah lemah, kelemahan seseorang itu tidak didasari oleh jenis kelamin. Masyarakat lah yang membentuk stigma bahwa kedudukan perempuan adalah di bawah laki-laki, dan hal tersebut seperti menandakan bahwa perempuan dituntut untuk tunduk kepada laki-laki dan mengikuti segala kemauannya.
Hal seperti itu seharusnya bisa diatasi oleh generasi saat ini, semua bisa dimulai dari diri sendiri. Tanamkan kepada keluarga bahwa tugas untuk membersihkan rumah, memasak, dan memberikan keputusan bukanlah tugas dari salah satu jenis kelamin tertentu saja, baik laki-laki maupun perempuan memiliki kewajiban untuk mampu membersihkan rumah dan memasak, serta memiliki hak berpendapat untuk memberikan keputusan.
Lalu, perempuan juga sudah seharusnya berpartisipasi dalam pembangunan bangsa, bukan hanya sebagai pendukung di belakang layar saja. Ketika perempuan dilibatkan dalam kegiatan politik, pendidikan, dan sosial, maka akan muncul pemikiran yang berbeda dari masyarakat, bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang sama.
Masyarakat Harus Melek atas Ketimpangan Gender
Semua masyarakat Indonesia harus mampu memiliki pemikiran yang terbuka mengenai gender. Jangan sampai ketimpangan gender ini terus berkembang dan menimbulkan permasalahan yang tidak kunjung usai, seperti kekerasan seksual yang bertambah setiap harinya.
Baik perempuan maupun laki-laki tidak bisa digolongkan menjadi siapa yang paling lemah, karena keduanya sama-sama seorang manusia yang memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Hapuslah stigma superior dan inferior pada jenis kelamin manapun. Karena sebenarnya, yang paling kuat adalah siapapun yang mampu untuk menjaga perilakunya ke arah yang positif.
Baca juga:
Dinamika Wanita Dewasa: Karier Vs Keluarga
Mengenal Apa Itu Double Burden dan Solusi Mengatasinya
Swara Kamu merupakan wadah untuk menyalurkan inspirasi, edukasi, dan kreasi lewat tulisanmu. Kamu bisa menyampaikan pendapat, pemikiran, atau informasi menarik seputar finansial dan karier. Setiap artikel Swara Kamu menjadi tanggung jawab penulis karena merupakan opini pribadi penulis. Tim Swara tidak dapat menjamin validitas dan akurasi informasi yang ditulis oleh masing-masing penulis.
Ingin ikut berbagi inspirasi? Langsung daftarkan dirimu sebagai penulis Swara Kamu di sini!