SWARA – Menjelang pemilihan umum yang akan diselenggarakan di seluruh penjuru Indonesia, pada tanggal 17 April 2019 mendatang, terdapat beberapa isu yang selalu diangkat dan juga dibicarakan. Salah satunya adalah isu mengenai Golongan Putih atau Golput.

 

Isu ini bukanlah hal baru bagi masyarakat Indonesia. Golongan putih adalah istilah politik di Indonesia yang berawal dari gerakan protes dari para mahasiswa dan pemuda untuk memprotes pelaksanaan Pemilu pada tahun 1971, yang merupakan pemilu pertama di era Orde Baru.

 

Golput itu sendiri adalah sebutan atau istilah bagi kalangan yang memutuskan untuk tidak menggunakan hak pilihnya dalam pesta demokrasi di Indonesia. Selanjutnya, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan seseorang memutuskan untuk memilih golput.

 

Faktor tersebut antara lain faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal lebih bersifat teknis, seperti waktu Pemilu yang bentrok dengan pekerjaan atau aktivitas. Selain itu juga faktor kondisi tubuh yang sedang sakit sehingga tidak memungkinkan untuk menggunakan hak pilih.

 

Sedangkan, faktor eksternal berasal dari persoalan seperti masalah administrasi, sosialisasi dan juga sikap politik. Jadi, jelas bahwa angka golput bukan semata-mata menunjukkan kecenderungan sikap apatis dari kalangan yang tidak menggunakan hak suaranya.

 

Artikel Terkait: Serba-serbi Unik di Daerah Seluruh Indonesia

  1. Tradisi Unik Perayaan Kemerdekaan Indonesia di Berbagai Daerah
  2. 4 Daerah Pinggiran Ibukota ini Punya Objek Wisata Menarik untuk Keluargamu!
  3. 5 Daerah di Indonesia yang Cocok untuk Berinvestasi Properti

 

Faktor Internal yang Menyebabkan Golput

 

Terutama dari faktor-faktor internal seperti pekerjaan atau kondisi tubuh. Kedua hal ini sangat mungkin tidak bisa ditinggalkan untuk sekadar memilih dan menggunakan hak suara pada sebuah pemilihan umum.

 

Banyak orang di Indonesia yang bekerja di luar kota kelahiran atau domisili aslinya. Hal ini pula yang menyebabkan seseorang termasuk dalam golongan putih, karena mereka tidak sempat untuk mengurus persyaratan untuk berpartisipasi dalam Pemilu di kota lain.

 

Faktor Eksternal yang Menyebabkan Golput

 

Dilansir dari BBC, Direktur Eksekutif Voxpol Center Pangi Syarwi Chaniago, mengatakan bahwa kelompok-kelompok yang tidak direpresentasikan dengan baik oleh seluruh pasangan calon presiden dan wakil presiden, mungkin memilih untuk golput.

 

Pada tahun 2014, angka golput mencapai sekitar 30%, termasuk orang-orang yang tidak masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan tidak mendapat undangan untuk memberi hak suara.

 

Faktor administrasi dan sosialisasi mengenai penyelenggaraan Pemilu menjadi salah satu poin yang perlu dievaluasi untuk menurunkan angka golput itu sendiri. Banyak masyarakat yang belum mengetahui jadwal Pemilu, karena faktor sosialisasi yang tidak merata sehingga mereka merasa tidak perlu menggunakan hak pilihnya.

 

Di sisi lain, banyak juga masyarakat yang tidak mendapatkan undangan untuk Pemilu karena masalah administrasi kependudukan. Hal ini kerap terjadi karena penduduk yang belum terdaftar sebagai penduduk di wilayah setempat. Hal-hal seperti seharusnya sudah bisa diselesaikan sebelum jauh sebelum Pemilu akan diselenggarakan.

 

Artikel Terkait: Ragam Unik di Indonesia

  1. Cita-cita PT. Pos Logistik Indonesia Hampir Tercapai
  2. Dilan 1991, Prestasi dan Sejarah Baru Perfilman Indonesia
  3. Keren! 9 Game Ini Mengandung Unsur Budaya Indonesia, Lho, Sudah Coba Main?

 

Golput Sebagai Hak dan Ekspresi Masyarakat?

 

Menurut beberapa kalangan, golput adalah sebagai sikap politik, hak, dan juga ekspresi masyarakat dalam menyikapi sebuah pemilihan umum. Sebagian kalangan beranggapan bahwa golput diambil sebagai alternatif untuk memberi kritik pada seluruh peserta Pemilu.

 

Kritik yang dimaksud adalah sinyal protes kepada pemerintah dan juga sinyal ketidakcocokan dengan apa yang telah ditawarkan para kandidat calon presiden dan wakil presiden. Mereka menganggap bahwa semua pasangan calon tidak cocok dijadikan sebagai pemimpin negara.

 

Dalam teori protest voting, gerakan golput tidak mengindahkan kandidat yang ada, walau nyatanya berpotensi sekalipun, guna dan harapan mendapatkan kandidat yang lebih baik.

 

Khusus untuk Pemilu 2019, menguatnya sentimen politik identitas dan hoaks diprediksi menjadi faktor yang meningkatkan angka golput. Para pemilih mulai jenuh akan “kekisruhan” yang selalu diciptakan oleh kedua kubu, sehingga kecenderungan golput semakin tinggi.

 

Semua kembali pada pilihan masing-masing, dan setiap pilihan pasti ada risiko yang akan ditanggung di kemudian hari. Jika nanti kamu memilih untuk golput, berarti kamu telah siap untuk menerima siapapun calon presiden dan wakil presiden yang akan terpilih dengan segala kekurangannya.

 

Masa depan Indonesia ada di tangan masyarakatnya sendiri, jadi apapun yang akan terjadi di kemudian hari adalah imbas dari apa yang sudah terjadi hari ini.


dhandyDhandy Dwi Yustica