Dalam dunia akademis, publikasi dari karya ilmiah ataupun hasil tulisan merupakan tolok ukur penilaian-penilaian tertentu. Hasil karya tulis seorang civitas akademika akan bernilai tinggi, karena karya tulis dapat menjadi parameter menandakan tinggi-rendahnya derajat intelegensi.

 

Namun, dengan kemajuan teknologi yang membuat semua hal menjadi lebih mudah, melunturkan wibawa originalitas tulisan seorang civitas akademika. Plagiarisme sejatinya dapat dikategorikan sebagai kejahatan akademis, karena melanggar hak kekayaan intelektual pemilik asli tulisan yang dijiplak.

 

Seperti yang dapat kita lihat saat ini, pengendalian terhadap aktivitas plagiarisme dalam hal penulisan karya tulis masih minim dilakukan di perguruan tinggi yang ada di Indonesia. Aktivitas plagiarisme masih dapat leluasa dipraktikkan oleh kalangan civitas akademika tidak hanya mahasiswa namun golongan-golongan civitas akademika bergelar lebih dari satu gelar juga masih bisa kita temui.

 

Fenomena plagiarisme tentu sangat disayangkan sekali, karena proses penulisan itu adalah hal yang rumit. Dalam karya tulis, dari segi penggunaan bahasa formal, padanan bahasa yang mudah untuk ditangkap, ketelitian dalam menulis, pencarian ide, pengumpulan data, keruntutan pola pikir, dan hal kompleks lainnya dituntut untuk ada dalam sebuah karya tulis.

 

Sebuah karya tulis tidak pernah bersifat sederhana dan bisa disepelekan meskipun bentuknya hanya sekadar tulisan. Ada isi kepala seseorang yang terkandung di dalam setiap uraian kalimatnya.

 

Proses penulisan juga memakan waktu dan proses berpikir yang tidak sebentar. Maka, dapat dikatakan sangat dzalim sekali pelaku yang melakukan penjiplakan karena mengakui kerja keras orang lain sebagai hasil dirinya yang bahkan tidak melalui proses-proses kesulitan dalam menulis yang seharusnya.

 

Kegiatan menulis sejatinya dapat dikatakan sebagai kegiatan dari belajar, jika aktivitas plagiarisme dipraktikkan, maka apa ilmu dan pembelajaran yang dialami?

 

Dapat kita katakan bahwa aktivitas plagiarisme dapat menumpulkan kemampuan berpikir seorang civitas akademika, karena menjiplak sama sekali tidak melalui proses berpikir yang panjang dan sistematis.

 

Menulis merupakan hal yang menantang, menulis dapat dikatakan salah satu bagian tersulit dalam pembelajaran. Pasalnya jika seorang civitas akademika tersebut pada dasarnya tidak memiliki landasan ilmu dan kemampuan berpikir yang kuat, maka menulis suatu karya akan menjadi kesulitan, akibat keterbatasan kemampuan yang dimiliki.

 

Selain itu, pernahkah pembaca mendengar bahwa penguasaan bahasa seseorang berbanding lurus dengan tingkat intelejensinya? Penguasaan bahasa seseorang dipengaruhi dari aktivitas membacanya. Semakin banyak hal yang dibaca, maka semakin tinggi ilmu yang diserapnya.

 

Dengan ilmu yang diserap tersebut, akan memudahkan seorang civitas akademika untuk menulis karena dari banyak susunan kata yang pernah ditemui, dari ilmu yang dipelajari, dan banyaknya tulisan yang direnungi, membuat proses menulis terasa lancar dan menyenangkan.

 

Plagiarisme adalah praktik tidak etis dalam menggunakan kata-kata atau gagasan (baik yang direncanakan maupun tidak disengaja) dari penulis / peneliti lain atau karya Anda sendiri sebelumnya tanpa pengakuan yang semestinya.

 

Dianggap sebagai pelanggaran akademis dan intelektual yang serius, plagiarisme dapat mengakibatkan konsekuensi yang sangat negatif seperti pencabutan publikasi dan hilangnya kredibilitas dan reputasi penulis.

 

Pasalnya, plagiarisme hal yang mengerikan untuk dilakukan karena konsekuensi yang bisa diperoleh dari tindakan tersebut; hanya apabila berlaku aturan yang ketat dan disiplin untuk menindak aktivitas tidak terpuji ini. Di Indonesia sendiri aktivitas plagiarisme masih sering sekali ditemui, terutama pada diri seorang mahasiswa.

 

Plagiarisme dapat kita katakan sebagai tindakan seorang akademisi yang pengecut, karena ia tidak berani menghadapi kesulitan dan tantangan berpikir yang memang sudah seharusnya ia jalani sebagai seorang akademisi.

 

 

Tulisan ini diangkat karena ketertarikan penulis pada sebuah cuitan twitter yang ditulis oleh @anshory72, nama pengguna twitter tersebut adalah Prof. Arief Anshory Yusuf, seorang Profesor di bidang ekonomi yang saat ini masih aktif mengajar di Universitas Padjajaran.

 

Dalam cuitannya tersebut, Prof. Arief mengangkat topik plagiarisme atau kasus penjiplakan yang diangkat oleh majalah Tempo dan menyeret sejumlah nama-nama rektor di Indonesia.

 

Namun fokus Prof. Arief dalam cuitan tersebut bukan mengkritisi dan membeberkan nama-nama akademisi yang terseret, namun lebih ke jenis-jenis dari plagiarisme yang jenisnya ternyata ada banyak tidak hanya satu. Seperti yang dikutip dalam cuitan Prof. Arief tersebut, berikut adalah jenis-jenis dari praktik plagiarisme:

 

  • Plagiarisme; menurut Prof. Arief tindakan ini dalam tindakan mengklaim bahwa ide milik orang lain sebagai ide kita sendiri. Sengaja atau tidak sengaja. Dari yg paling parah mengklaim karya orang lain sampai tidak akurat dalam mengutip.

 

  • Self-plagiarism – Mengklaim (eksplisit atau implisit) bahwa ide kita orisinil dalam artian belum pernah dikemukakan di media lain sebelumnya. Dari yang paling parah mempublikasikan manuscript yg sama di jurnal yg berbeda tanpa disclaimer, sampai tidak akurat dalam citasi.

 

  • Pada point ketiga ini, Prof. Arief mengkategorikan tindakan bangga dan mengklaim prestasi pada publikasi di jurnal yang jelas-jelas jurnal itu jurnal predatory sebagai tindakan ketidakjujuran dalam akademik lainnya.

 

  • Citationstacking. Meminta, menghimbau, teman-teman, bawahan mahasiswa, penulis artikel yg issue journal/proceeding kita sebagai editor, untuk mencite karya nya agar citasi kita tinggi.

 

  • Free riding. Meminta namanya jadi author padahal kontribusinya tidak layak untuk jadi author. Penulis ingin menambahkan pada poin ini, sayangnya pada poin ini banyak sekali dimanfaatkan oleh oknum dosen yang menunggangi karya tulis ilmiah mahasiswanya agar namanya masuk ke dalam penulis sebuah karya tulis.

 

  • Sama dengan poin ketiga, poin ini menyoroti tindakan institusi bangga dan mengklaim prestasi karena banyaknya kuantitas publikasi padahal jelas-jelas banyak publikasi dari jurnal predatory atau conference proceedings yang diragukan kualitasnya.

 

  • Bangga dan mengklaim kita mengalahkan negara-negara lain dalam publikasi ilmiah karena jumlah publikasi nya melesat tinggi, padahal isinya sebagian besar kurang berkualitas.

 

  • Membayar orang menuliskan karya ilmiah. Misalnya dalam pembuatan tesis/disertasi. Misalnya, mahasiswanya sibuk karena pejabat tinggi, yang ‘diminta bantuan’ bahkan bisa saja akademisi atau dosen sendiri dengan imbalan bervariasi dari ‘harapan’ sampai ‘janji-janji’.

 

Cuitan Prof. Arief tersebut membuka pengetahuan dan wawasan penulis mengenai macam-macam tindakan plagiarisme yang selama ini ternyata banyak macamnya.

 

Dengan adanya wawasan ini, penulis menjadi lebih sadar terhadap tindakan predator karya tulis yang tidak pantas untuk dilakukan oleh seorang civitas akademika yang derajat intelejensinya harusnya bisa mengimbangi moralnya sebelum melakukan suatu aktivitas tertentu.

 

Semoga dengan tulisan ini, semoga dapat memberikan kesadaran dan pemahaman kepada pembaca yang mengarah pada perubahan pola pikir. Mari, jangan abadikan plagiarisme.

 

Swara Kamu merupakan wadah untuk menyalurkan inspirasi, edukasi, dan kreasi lewat tulisanmu. Kamu bisa menyampaikan pendapat, pemikiran, atau informasi menarik seputar finansial dan karier. Setiap artikel Swara Kamu menjadi tanggung jawab penulis karena merupakan opini pribadi penulis. Tim Swara tidak dapat menjamin validitas dan akurasi informasi yang ditulis oleh masing-masing penulis.

 

Ingin ikut berbagi inspirasi? Langsung daftarkan dirimu sebagai penulis Swara Kamu di sini!