SWARA – Seorang warga Amerika Serikat yang berprofesi sebagai guru dikabarkan meninggal dunia akibat komplikasi flu. Heather Holland yang pada saat itu berusia 38 tahun memutuskan untuk nggak mengonsumsi obat antibiotik, lantaran harganya yang dianggap terlampau mahal.

 

Penggalan kabar di atas bisa jadi pengejawantahan seletukan satire yang berbunyi, “orang miskin dilarang sakit”. Cocok untuk menggambarkan kondisi tingginya biaya berobat, padahal hal itu termasuk dalam hak layanan kesehatan yang sepatutnya diterima oleh masyarakat, dan dilindungi oleh undang-undang.

 

Nggak hanya di Amerika Serikat, tingginya biaya berobat juga terjadi di banyak negara, nggak terkecuali Indonesia. Dilansir dari Kompas.com (26/06/2012), penyebab tingginya biaya berobat di Indonesia dipengaruhi oleh kondisi masyarakat yang diberi kebebasan seluas-luasnya untuk memanfaatkan sistem pelayanan kedokteran. Hal inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh pelaku bisnis dengan menjadikan layanan kesehatan tersier jadi kebutuhan dasar, sehingga terjadi komersialisasi besar-besaran pada layanan kesehatan.

 

Misalnya, masyarakat yang punya uang berlebih akan memilih berobat langsung ke dokter spesialis, ketimbang ke dokter umum atau puskesmas. Belum lagi, jika berbicara tentang tren asuransi kesehatan dengan sistem pembayaran premi yang nggak murah. Menjawab fakta tersebut, sistem pelayanan kesehatan terpadu dengan menggunakan sistem rujukan melalui akses layanan kesehatan primer—seperti puskesmas dan dokter umum—harus jadi ujung tombak.

 

Program BPJS sendiri adalah perwujudan program layanan kesehatan dengan sistem rujukan untuk menjawab tren komersialisasi pada dunia kesehatan. Dengan adanya sistem ini, kamu bisa mengakses layanan kesehatan yang lebih terjangkau.

 

Kendati demikian, pada kebutuhan berobat, komersialisasi tetap lebih menguasai dunia layanan kesehatan ini. Layanan kesehatan nggak lebih dari komoditas jual-beli yang berorientasi pada untung dan rugi, ketimbang fungsi layanannya itu sendiri.

 

Nah, untuk mendapatkan layanan kesehatan dengan harga terjangkau, BPJS bisa kamu jadikan solusi. Namun, jika kamu belum terdaftar dalam BPJS atau nggak menggunakan BPJS, untuk menyiasati biaya obat-obatan yang mahal, kamu bisa terapkan tips dan langkah-langkah berikut ini.

 

Artikel Terkait: Siapa Bilang Sehat Selalu Mahal?

  1. Milenial, Yuk Benahi Pola Hidupmu untuk Menghindari 5 Penyakit Ini!
  2. Tips Mudah dan Murah Hindari Flu. Yuk, Dicoba!
  3. Siapa Bilang Diet Itu Mahal? Ini 5 Cara Memiliki Bentuk Tubuh Ideal Tanpa Menguras Kantong!

 

1. Pilih apotek besar

Mengapa justru saya anjurkan untuk memilih apotek besar? Harga obat-obatan yang bervariasi di tiap tempat jadi alasan utama. Lakukan survei harga dari jenis obat yang kamu butuhkan. Dari situ kamu akan tahu, biasanya apotek besar akan memberikan penawaran harga yang lebih murah ketimbang apotek kecil.

 

2. Pilih obat generik

Jangan salah sangka, label generik memang menandakan obat tersebut dibanderol dengan harga yang lebih murah. Namun, bukan berarti memiliki kandungan dan khasiat yang berbeda dengan obat sejenis yang nggak berlabel generik.

 

Drs Nurul Falah Eddy Pariang, Apt, selaku Ketua Umum Ikatan Apoteker Indonesia, mengatakan, “jenis senyawa aktif yang digunakan sama dengan obat branded generik atau obat paten. Kalau sudah terdaftar di BPOM sudah pasti memenuhi Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dan kualitas sudah pasti sama dengan yang paten maupun branded generik.”

 

3. Manfaatkan teknologi

Jika masih bisa dikatakan sakit ringan, cobalah untuk menganalisis sendiri dengan memanfaatkan internet. Cari tahu dan cobalah diagnosis sendiri secara sederhana dari apa yang kamu rasakan, untuk tahu obat yang paling tepat untuk dikonsumsi tanpa harus konsultasi dengan dokter.

 

Namun, ingatlah–ini hanya untuk jenis-jenis penyakit ringan, ya. Itu pun kalau setelah dua-tiga hari sakit nggak mereda, kamu tetap harus langsung meluncur ke dokter, puskesmas, atau layanan kesehatan lainnya untuk memeriksakannya.

 

4. Percaya pada antibodi tubuh

Sekali lagi, bukan maksud saya untuk meremehkan “penyakit”. Namun, ada baiknya kamu lebih percaya pada tubuh yang sudah dianugerahkan untukmu. Ia sudah memiliki sistem kekebalan tubuh yang berfungsi untuk menangkal sakit penyakit, jauh sebelum dunia diperkenalkan pada sistem klinik atau dokter andal sekalipun.

 

5. Jangan panik

Manfaatkan UGD hanya pada kondisi yang benar-benar darurat. Sesuai dengan namanya, Unit Gawat Darurat, ruangan UGD akan diisi oleh pasien-pasien dengan sakit kritis atau cedera parah.

 

Jadi, kalau kamu cuma merasa demam atau pusing-pusing, nggak usah kelewat panik. Cobalah untuk menerapkan poin “manfaatkan teknologi” di atas. Diagnosis penyakit sendiri dan cobalah ke puskesmas atau dokter umum terlebih dulu.

 

Artikel Terkait: Tetap Sehat Meski Curah Hujan Meningkat

  1. Supaya Anak Nggak Gampang Sakit di Musim Hujan Seperti Ini, Yuk Terapkan 5 Tips Praktis Berikut!
  2. Musim Penghujan, Begini Cara Ampuh Cegah Penyakit Langganannya
  3. Hati-Hati, 9 Penyakit Ini Sering Menyerang di Musim Hujan!

 

6. Berpikir kritis

Cobalah untuk nggak “iya-iya saja” pada setiap tindakan medis. Tanyakan alasan atau kebutuhan medis. Misalnya pada setiap tes laboratorium, obat-obatan, X-Ray. Tanyakan baik-baik pada dokter, selain menghemat uang dan tenaga, menghindari tes yang nggak perlu juga akan mengurangi risiko malpraktik.

 

Itulah, enam tips yang bisa kamu terapkan untuk membuat kebutuhan berobat lebih efektif dan efisien. Seperti yang saya sebutkan di atas, langkah-langkah di atas selain membantumu lebih hemat, juga akan mengurangi risiko malpraktik.