SWARA – Sekali dua kali, kamu mungkin pernah mendengar istilah Generasi Z alias Gen-Z, atau dikenal juga dengan sebutan Post-Millenial. Inilah julukan untuk mereka yang lahir pada pertengahan 90-an hingga akhir tahun 2000-an. Mereka adalah penerus dari generasi Millenial atau Gen-Y.
Gen-Z lahir di era teknologi digital. Bisa dibilang, mereka adalah ‘digital native’ alias ‘penduduk asli dunia digital’. Sejak dini mereka akrab dengan gawai, ponsel pintar dan media sosial. Makanya, kemampuan mereka dalam memahami dan memanfaatkan teknologi terkini pun nggak diragukan lagi. Alhasil, mereka pun tumbuh jadi generasi yang haus eksistensi di dunia maya, karena itu bisa jadi dunia utama mereka.
Buat untuk itu untuk kamu para kakak atau orang tua muda, rasanya nggak salah kalau kita coba lebh memahami tentang generasi Z ini. Khususnya agar bisa mendampingi gen-z yang haus eksistensi di dunia maya.
Beberapa kelebihan dan kekurangan dari Gen-Z
Ada beberapa kelebihan dari Gen-Z dibandingkan pendahulunya. Antara lain, mereka lebih jago multitasking, lebih kompetitif, kreatif dan punya rasa ingin tahu yang besar.
Selain itu, meski dari luar tampak individual, mereka sebenarnya terlahir sosial, yang mereka iekspresikannya melalui dunia maya. Gen-Z cenderung lebih intens dalam menjalin komunikasi lewat media sosial maupun aplikasi chat. Bahkan, nggak sedikit pula yang cukup kreatif dan mampu mendulang rupiah dengan memanfaatkan media sosial seperti Youtube dan Instagram.
Tapi, Gen-Z juga bukan berarti tanpa kelemahan, lho. Lahir di tengah-tengah teknologi yang memudahkan mereka, membuat generasi ini lebih suka dengan yang serba cepat dan instan. Mereka jadi individu yang kerap dipandang nggak sabaran dan enggan berproses. Lebih jauh, mereka juga menjadi orang-orang yang tergantung pada teknologi.
Hidup di tengah derasnya arus informasi yang cepat juga menjadikan Gen-Z lebih kurang fokus dibandingkan generasi pendahulunya. Rajin melahap informasi di dunia maya membuat mereka juga rentan terpapar oleh hal-hal negatif di internet, seperti cyber-bullying serta penyebaran paham radikalisme.
Artikel terkait: Hal-hal yang patut diketahui orang tua!
- Bullying pada Anak: Kenali Peran dan Dampak bagi Pelaku, Korban juga Saksi
- Yuk, Cegah Anak Terpapar dari Paham Radikalisme!
- Kesejahteraan Anak di Indonesia Masih Mengkhawatirkan
Pentingnya ‘Jempol’ bagi remaja Gen-Z
Saya pun sedikit mencari data soal kiprah Gen-Z di media sosial. Hasilnya, sebuah survei online terbaru di AS dalam situs thedrum.com, mengungkapkan bahwa 88% pelajar dan mahasiswa memanfaatkan media sosial seperti Instagram dan Snapchat, sementara pengguna Facebook di kalangan remaja mencapai 81%. Selain itu, Gen-Z sanggup menghabiskan waktu hingga 11 jam per hari untuk media sosial.
Rasa takut ketinggalan berita serta perasaan senang ketika postingan mereka diberi ‘jempol’ atau ‘hati’ jadi beberapa alasan untuk terus menggunakan media sosial. Berdasarkan penelitian oleh Brain Mapping Center University of California Los Angeles (UCLA) sebuah ‘like‘ ternyata berdampak sama seperti menang lotere pada remaja.
“Remaja yang unggahannya [lebih banyak] disukai, aktivasi bagian otaknya lebih besar dibanding lainnya,” kata Lauren Sherman, pemimpin penelitian tersebut seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Semakin unggahannya disukai, semakin tinggi pula aktivitas otak bagian nucleus accumbes yang bertugas merespons rasa penghargaan. Sensasi inilah yang membuat remaja kecanduan media sosial.
Hal ini pun diamini oleh Sandy Kartasasmita, M.Psi., seorang psikoterapis dan psikolog yang berbasis di Jakarta. Menurutnya, remaja Gen-Z kerap mempermasalahkan jumlah ‘like’ yang didapatkan dari pertemanan mereka di medsos.
“Saat kurang mendapatkan ‘like’, mereka akan merasa kurang populer dan itu dapat berpengaruh terhadap keyakinan diri mereka. Bahkan, terkadang menjadi populer di medsos jadi lebih penting daripada hubungan pada kehidupan nyata,” ujar pria yang akrab disapa Sandy ini.
Pada tingkat yang ekstrem, mereka bahkan bisa memeragakan tindakan-tindakan berbahaya demi eksistensi mereka di jagat internet. Kamu mungkin pernah mendengar Skip challenge, tantangan yang cukup viral beberapa waktu lalu yang dilakukan dengan cara menekan dada kuat-kuat hingga peraganya nggak sadarkan diri.
Contoh yang lebih ekstrem adalah Blue Whale challenge, sebuah permainan yang konon menjadi pemicu munculnya kasus bunuh diri sejumlah remaja di Rusia.
Tips buat orang tua dalam mendampingi Gen-Z
Dengan karakternya yang seperti itu, yang jelas berbeda dari generasi millennial para orang tuanya, maka orang tua pun perlu banyak belajar agar bisa menjadi pendamping yang baik bagi Gen-Z ini. Agar bisa memahami anak Gen-Z, Sandi pun memberikan beberapa tips.
1. Orang tua perlu melakukan pendekatan sebagai sahabat
“Saat mendekat ke anak, orang tua harus benar-benar mengambil posisi sebagai sahabat, bukan sekadar sok menjadi sahabat tapi tetap menggurui dan merasa dirinya paling benar,” imbuhnya.
Sebagai sahabat berarti kamu harus banyak berempati dengan posisi dan kondisi si anak. Khususnya saat mereka mengalami hal berat. Misalnya insecure dengan dirinya, saat jatuh cinta tau patah hati sampai saat dia merasa bimbang dalam mengambil sebuah keputusan.
Beri saran dan solusi seperti halnya seorang sahabat. Ajak anak berdiskusi untuk mencari solusi terbaik. Bukan dengan cara selalu melarang dan memerintah.
2. Awas dengan kemajuan teknologi dan perkembangan informasi
Bila perlu, belajarlah dari sang anak dan berinteraksilah dengan anak melalui medsos yang digunakannya. Sandi menganjurkan orang tua untuk mempelajari aplikasi seperti Instagram, Snapchat, dan Line.
“Inilah tiga medsos yang paling banyak dipakai anak muda saat ini,” ucap Sandi.
3. Jangan memberikan gawai pada anak yang masih balita
“Ini kesalahan terbesar kita sebagai orang tua. Jangan berikan gadget kepada anak sampai dia berusia 5 tahun. Setelah usia 5 tahun, boleh perkenalkan gadget tapi batasi penggunaannya. Gadget bukanlah benda yang dipakai untuk membuat anak diam,” ujarnya.
Menurutnya, penggunaan gadget yang terlalu dini nggak cuma merusak mata, tapi juga membuat kecanduan. Anak akan cenderung lebih mementingan gawainya dibandingkan orang lain, sehingga menimbulkan jarak sosial dan berkurangnya kepekaan emosi.
“Ketika mendampingi anak, orang tua perlu memberi pengertian bahwa benda tersebut (gawai, internet, dan media sosial) hanyalah alat bantu yang cukup digunakan saat dibutuhkan, bukan yang utama. Orang tua perlu membuat aturan berapa lama menggunakan gadget dan menciptakan parent control agar anak tidak melihat hal-hal yang belum layak dilihatnya, misalnya kekerasan, pembunuhan dan pornografi,” tandas Sandi.
Artikel terkait: Memahami dan memaksimalkan potensi anak
- Dear Orang Tua, Prestasi Akademis Anak Ternyata Tidak Tentukan Kesuksesannya Kelak
- Wahai Orang Tua, Pola Asuhmu Memengaruhi Kebahagiaan dan Jumlah Penghasilan Anakmu Kelak
- Hai, Orang Tua! Mari Kenali serta Asah Minat dan Bakat Buah Hati Sedari Ia Kecil dengan 3 Langkah Berikut
Senada dengan pendapat Sandi mengenai pentingnya mendidik anak dalam memanfaatkan teknologi, Google menggalakkan program Be Internet Awesome. Lewat program edukasi ini, Google berharap anak muda mampu lebih bertanggung jawab dalam berinternet.
Dikutip dari Dailysocial.id, ada lima poin yang menjadi kunci pembelajaran dari program ini: Mengajarkan anak-anak untuk membangikan konten dengan bijaksana, melatih pemikiran kritis ketika menilai kejujuran konten, waspada dengan kerahasiaan dan privasi, menunjukkan kebaikan di internet dan mengutarakan pendapat tentang isu-isu terkini yang menyebabkan keraguan di antara mereka.
Bagaimana sudah lebih paham tentang generasi Z dan cara mendampingin mereka agar nggak menimbulkan banyak konflik? Dalam hati saya berjanji, kelak saya harus menjadi orang tua keren yang bisa menjalankan tips-tips di atas kepada anak saya nanti. Apakah kamu juga setuju dengan saya?
Lalu bagi kamu para orang tua atau pun yang masih single yang sedang butuh dana untuk keperluan penting, mau pinjam uang tunai tanpa agunan, tanpa kartu kredit? Yuk, langsung ajukan pinjaman kamu di sini!
PAULUS RISANG