SWARA – Beberapa waktu lalu, dunia pendidikan Indonesia sempat dihebohkan dengan gagasan dari Mendikbud Muhadjir Effendy mengenai sistem sekolah 8 jam sehari alias full day school.
Namun, setelah kurang lebih delapan bulan sejak gagasan ini dilontarkan, pada Senin 19 Juni lalu, Presiden Joko Widodo resmi membatalkan program ini sebab banyaknya aspirasi masyarakat yang menolak. Tak hanya dari para orang tua dan tenaga pendidik, ormas seperti PBNU pun menyatakan keberatannya akan gagasan ini.
Pembaharuan sistem sekolah untuk menjawab tantangan masa depan
Demi mempersiapkan generasi kini menghadapi era global, memang sih, sistem pendidikan umum yang ada di Indonesia perlu mendapatkan pembaharuan. Apalagi jika merujuk pada hasil penelitian yang dikeluarkan oleh Intelligence Unit, The Economist mengenai “21 Century Skills”, dengan 5 skill teratas sebagai, Problem Solving (50%), Team Working (35%), Communication (32%), Critical Thinking (27%), dan Creativity (21%).
Maka, Kemendikbud pun keluar dengan gagasan full day school, di mana siswa tak hanya mendapatkan ilmu di sekolah, namun juga penguatan karakter, kepribadian, serta pengembangan diri yang dikemas dengan kegiatan tambahan ekstrakurikuler agar siswa tak hanya menghabiskan waktu di ruang kelas.
Tujuannya memang baik, namun saat melihat kondisi di lapangan, sekolah-sekolah di pelosok Indonesia belum mampu menerima tanggung jawab sebesar ini.
Artikel Terkait: Tangan Pertama Pendidikan Anak Ada di Orang Tua
- Sri Mulyani: Orang Tua Harus Terlibat dalam Setiap Perjalanan Pendidikan Anak
- Mengajarkan Bahasa Asing Sejak Dini, Boleh Nggak, Sih?
- Hai, Orang Tua! Mari Kenali serta Asah Minat dan Bakat Buah Hati Sedari Ia Kecil dengan 3 Langkah Berikut
Tak sedikit kritik yang terlontar dari kalangan pendidik mengenai kebijakan satu ini. Pemerhati pendidikan dari Ikatan Guru Indonesia (IGI), Ahmad Rizali misalnya, menyebutkan bahwa jika kebijakan ini kurang tepat jika diarahkan sebagai jawaban untuk menyalurkan keaktifan anak didik. Karena, kondisi ini hanya berlaku untuk mereka yang ada di kota-kota besar, dengan dua orang tua yang bekerja. Tak bisa disamaratakan dengan yang ada di seluruh pelosok tanah air.
Di lain pihak, kebijakan ini seolah-olah memindahkan tanggung jawab orang tua kepada guru. Padahal, kualitas guru dan sekolah di Indonesia dirasa masih kurang memadai dan tak merata untuk diberikan tanggung jawab sebesar ini.
Terkait fasilitas misalnya, tak sedikit sekolah-sekolah daerah mengemukakan keberatan mereka. Bukan karena tak mau, tapi memang fasilitas di sekolah yang masih jauh dari kata mendukung.
Sebagai contoh, seperti diungkapkan oleh Kadis Pendidikan Kepemudaan dan Olahraga (Disdikpora) Bangli I Nyoman Suteja, lingkungan sekolah di Bangli belum bisa memastikan ketersediaan sarana seperti kantin, fasilitas olahrga dan lain-lain. Belum lagi karena kebanyakan lokasi sekolah dengan rumah siswa dapat memakan waktu berjam-jam perjalanan.
Dari sisi psikologis pun, kebijakan ini tak menarik simpati. Psikolog Anak dan Remaja Universitas Indonesia, Vera Itabiliana mengungkapkan alasan utamanya: stres yang bisa berujung pada mogok sekolah.
Artikel Terkait: Kebahagiaan dan Kesejahteraan Anak
- Sibuk Bekerja, Orang Tua Sering Lupa 5 Hal Penting Ini
- 5 Hal yang Perlu Kamu Tahu tentang Day Care (Tempat Penitipan Anak)
- Wahai Orang Tua, Pola Asuhmu Memengaruhi Kebahagiaan dan Jumlah Penghasilan Anakmu Kelak
Bagaimana menyikapinya?
Kebijakan baru umumnya pasti mengundang pro dan kontra. Pemangku kebijakan tentunya memiliki alasan kuat di balik setiap gagasan yang dilontarkan. Sebagai masyarakat, kita memiliki hak untuk bereaksi.
Namun, edukasi diri terlebih dahulu dan enggak hanya asal menerima atau menolak, ya. Karena pada akhirnya yang kita inginkan adalah kemajuan bangsa, kan?
Nah, Menurutmu sendiri apakah sistem seperti ini patut untuk dicoba lagi di masa depan?
Butuh pinjaman tunai tanpa ribet? Ajukan pinjaman tunaimu di sini!