SWARA – Sukses itu relatif, tapi gagal itu universal. Ha-ha-ha. Nggak, saya nggak akan memulai artikel ini dengan sesuatu yang klise. Tips sukses di usia muda saja sudah terdengar klise dan bikin malas bacanya. Iya, kita semua berharap jadi orang yang berhasil, tapi dengan terlalu ambisius dan selalu mencari cara buat sukses macam Mark Zuckerberg yang udah bikin Facebook di usia 20, kok, kayaknya malah jadi beban, ya?
Nggak ada cara pasti yang menjamin kita pasti berhasil dalam hidup. Karena kalau ada, semua orang pasti sudah melakukannya dan sukses dalam pengertian yang sama. Iya, pengertian sukses bisa berbeda bagi tiap orang. Kalau sukses buat kamu adalah hidup mandiri, dalam artian mampu menghidupi diri sendiri, membantu orang lain dengan bekerja, dan berkarya, bisa jadi pengertian kita akan sukses sama.
Saya nggak banyak baca self help soal karier. Pun, nggak suka baca biografi orang-orang sukses di dunia. Semua yang saya tahu soal karier adalah dari obrolan, bimbingan mentor, dan pengalaman. So, kalau kamu sekarang ini lagi mau mulai melangkah menjadi seorang yang mandiri secara mental dan finansial, ada beberapa tips yang saya percayai betul sekarang. Dan, saya harap ada mentor yang mengelaborasinya ketika saya berusia 23 dulu. Tapi nggak ambisius-ambisius amat, sih.
Artikel Terkait: Hal-hal yang Harus Kamu Tahu Sepanjang Perjalanan Karier
- Benarkah Popularitas di Kantor Mempengaruhi Karier dan Kesuksesanmu?
- Ingin Naik Gaji? Jangan Risau, Ikuti 6 Tips dan Trik Berikut!
- Pinjam Uang Cepat Bisa Bantu Kesuksesanmu, Bagaimana Caranya?
Ini dia 6 tips karier ambisius tingkat medium yang Millennials usia 23 jaman sekarang harus tahu, kata saya, bukan kata orang lain.
1. Ambil waktu rehat
Ya, kali. Mulai saja belum, ini sudah diminta rehat. Hear me young ones, sebagai yang sudah mulai bekerja sebelum lulus kuliah, saya menyesal nggak mengambil waktu rehat setelah lulus kuliah. Berasal dari keluarga sederhana, saya selalu menemukan diri saya dalam keadaan BU alias butuh uang, sounds familiar? Makanya, sejak belum lulus kuliah saya sudah cari kerja. Begitu pegang ijazah langsung cari kerja yang lebih menjanjikan.
Waktu rehat ini bisa kita pakai untuk volunteering atau solo traveling. Sounds cliché again? Kadang yang klise itu ada alasannya, dan kadang alasannya adalah karena ia memang berguna. Kita menghabiskan sekitar 16 tahun untuk sekolah, tidak termasuk TK dan pre school. Saya rasa boleh banget mengambil satu hingga dua bulan untuk rehat melakukan apa yang sebelumnya nggak bisa kita lakukan karena terikat kewajiban masuk sekolah dan kuliah. Kedua hal ini bisa kita lakukan sambil kuliah tapi pastinya beda ketika kita fully committed melakukannya. Murni demi pengembangan diri di luar akademis.
Kita pun akan lebih mantap ketika tanda tangan kontrak kerja tanpa cuti selama setahun. Liburan nggak jadi impian, semangat kita adalah benar-benar masuk ke dunia profesional, show them what we got. Atau, kalau kita mantap jadi entrepreneur kita akan mengerahkan semua waktu yang kita punya, fokus. Dan, mungkin nggak membaca artikel ini lebih lanjut karena tips yang saya berikan lebih buat kamu yang masuk bekerja di perusahaan alias salarywoman, he-he-he.
2. Nggak terpaku sama passion
Waktu masih kuliah dulu saya ingin jadi wartawan perang. Namanya juga impian masa muda. Lalu saya magang sebagai wartawan harian, meliput kriminalitas, seorang ayah ditangkap karena membunuh anaknya sendiri. Ketika kami wawancara, dengan bercucuran air mata dia mengatakan dia tidak punya uang untuk memberi makan anaknya. Dia seorang pemulung, bagi dia lebih baik anaknya mati daripada hidup susah bersamanya. Pulang liputan ini saya menangis sendirian di kamar. Lalu selama satu bulan magang ada beberapa kisah serupa yang membuat saya sadar, saya nggak cukup kuat mental untuk menghadapi hal-hal seperti ini setiap hari. Saya nggak bisa nggak ikut merasa.
Setelah masa magang selesai saya diminta melanjutkan masa magang sampai lulus dan ditawari jadi reporter. Saya menolak. Tapi, karena masih ingin jadi jurnalis, saya pun mencoba mencari jalan untuk menulis soal pendidikan atau hiburan. Berkat mencoba, saya jadi tahu pasti kenapa saya banting setir.
Keren banget kalau sudah tahu apa passion kita dalam hidup. Bisa diikuti. Tapi, kalau ada tawaran yang masuk akal, kenapa nggak dicoba dulu? Kalau nggak cocok, kan, bisa nggak dilanjutkan sambil cari pemasukan. Apalagi buat yang masih nggak tahu passion-nya apa, daripada kebanyakan mikir, mendingan bikin list pilihan apa saja yang make sense lalu dicoba. Kadang kita nggak tahu apa yang kita mau karena belum pernah mencoba mengerjakannya, atau karena belum tahu pilihan itu ada.
3. Inisiatif, dong, ah…
Saya pernah menjadi bawahan dengan berbagai macam atasan. Juga, pernah jadi atasan dengan berbagai macam bawahan. Dari kedua posisi ini saya sadar, kalau added value yang selalu dicari dari seseorang adalah inisiatif. Kita bisa jadi seorang pekerja yang rajin, pintar, dan mengerjakan semua job desk dengan baik. Tapi, inisiatif yang akan membawa diri kita setingkat lebih maju.
Mengeluarkan inisiatif untuk mengerjakan sesuatu dengan lebih baik, memberikan ide baru, atau inisiatif untuk memimpin akan membuat orang lain percaya kalau kita bukan hanya bisa memimpin diri sendiri tapi juga orang lain. Jadi inisiatif, dong, ah, jangan nunggu disuruh-suruh aja.
4. Cara pandang terhadap bos
Ada banyak banget artikel yang membahas cara supaya disukai sama bos. Saya nggak pernah baca. Waktu masih kuliah dulu, ayah saya pernah bilang, “Sejelek-jeleknya karyawan tetap kepakai asal dia nggak nyusahin bos, itu aja.”
Belakangan ketika ada di posisi memimpin, saya sadar betul apa yang pernah ia katakan ini.
Atasan atau team leader atau bos punya target, kita sebagai anggota timnya bertugas mengerjakan job desk masing-masing demi tercapainya target ini. Kalau kita bisa mengerjakan peran dengan baik, tujuan bersamanya pasti tercapai. Apalagi kalau kita inisiatif, pasti jadi nilai plus. Tapi, kalau keberadaan kita malah menambah pekerjaan atasan, dia pasti terbebani dan bisa saja mencari anggota tim lainnya. Nggak usah fokus sama drama apalagi mencari perhatian dengan kata-kata manis atau hadiah. Kerja aja yang beres, jangan jadi beban tim.
Dengan prinsip ini saya akhirnya punya hubungan yang cukup baik dengan atasan atau bawahan. Soalnya kalau pekerjaan selesai, kan, kita jadi punya waktu juga buat hal yang lebih personal di luar jam kantor. Biarkan masa-masa drama itu berakhir di SMA. Kecuali kalau justru atasannya yang drama, maka baca tips selanjutnya.
5. Tahu kapan harus move on
Tadi saya bilang kita harus mau mencoba, kan? Tapi kita juga harus tahu kapan move on, bukan menyerah, bukan gagal, tapi move on. Seorang adik kelas pernah galau karena merasa nggak cocok di tempat kerjanya setelah seminggu kerja. Saya bilang, tahan sampai satu bulan sambil cari kerjaan lain. Kalau tawaran pekerjaan baru terasa sangat nggak bisa ditolak, resign dan kerja di tempat baru itu. And she did it.
Untuk hal baru, coba minimal satu bulan sebelum udahan. Setidaknya setelah itu kita tahu betul kita nggak akan menyesal dengan pilihan yang kita buat. Yang nggak saya rekomendasikan adalah, resign via WhatsApp setelah satu hari kerja. Ini akan memberikan kesan yang salah bukan hanya tentang diri kita tapi juga almamater dan angkatan kita.
Artikel Terkait: Jangan Asal Pindah Kantor
- SWARA KAMU: 3 Cara Nggak Jadi Millennials yang “Kutu Loncat” Tanpa Pikir Panjang
- 6 Alasan Pentingnya Negosiasi Gaji Saat Wawancara Kerja
- Inilah 5 Perbedaan antara Bekerja di Start-up dengan Instansi Pemerintahan!
6. Terbuka sama perubahan
Kalau ada satu lagi HRD yang tanya, “Bagaimana kamu melihat diri kamu dalam lima atau sepuluh tahun mendatang?” saya mendingan langsung keluar ruang wawancara. So old school. Banyak banget pekerjaan yang lima tahun lalu bahkan belum ada. Mungkin saja, tiba-tiba ada teknologi yang membuat banyak hal jadi nggak relevan lagi. Mana bisa menjawab 5 atau 10 tahun lagi mau ngapain? Sehingga rekan mudaku sekalian, yang paling masuk akal adalah menjawab bahwa kita akan berusaha mengikuti perubahan.
Contoh kasus yang lebih personal, tujuh tahun lalu saya menjadi jurnalis di sebuah majalah dari salah satu grup media terbesar dan dihormati di Indonesia. Dua tahun menjadi reporter saya diberi tanggung jawab untuk mengelola website dan media sosialnya, tanpa pengetahuan digital di kampus, saya mau mencoba.
Lima tahun setelah kejadian itu, majalah tersebut ditutup. Tergerus perubahan jaman, senasib dengan banyak media massa cetak di dalam maupun luar negeri. Ketika yang lain baru mulai belajar menyesuaikan diri dengan dunia digital, itu pun sebagian karena terpaksa, saya sudah belajar duluan. Nggak mengatakan saya lebih pintar, tapi saya nggak gentar karena sudah mencoba.
Lalu sekarang, saya kembali menantang diri untuk mencoba dan terbuka dengan perubahan, dengan menanggalkan identitas sebagai seorang jurnalis. Karena setelah mencobanya selama tujuh tahun, saya tahu ini saatnya untuk move on.
ASTRI SOEPARYONO