Croffle ialah camilan berbahan dasar adonan croissant yang dipanggang dengan mesin waffle. Croffle adalah sebuah inovasi baru yang sangat populer terutama di kalangan generasi Z (1996-2010), merupakan peluang baru untuk para pengusaha roti. Sebagai bahan analisa, di kota Solo, yang bukan kecil atau kota besar, pada saat awal viral croffle, hanya ada satu atau dua tempat yang menjual croffle.

 

Namun dalam kurun waktu sekitar tiga bulan, croffle sudah ada di berbagai hotel berbintang, kafe, hingga kios di pinggir jalan Kota Solo. Dari sini penulis mendapatkan data bahwa peminat croffle cukup besar sehingga penjual croffle semakin banyak berbanding lurus dengan permintaan pasar, menjadikan persaingan pengusaha croffle semakin ketat. Para pengusaha croffle memerlukan strategi pemasaran yang tepat untuk meningkatkan daya saing dalam penjualan dengan mengamati para pesaing.

 

Dengan menggunakan teori yang dikemukakan oleh Michael E. Porter, dari Universitas Harvard, yaitu ada lima forces atau faktor persaingan yang berpengaruh dalam perencanaan strategi pemasaran. Oleh karena itu, para pengusaha croffle harus menggunakan teori Porter’s 5 Forces dalam analisis strategi pemasaran untuk meningkatkan penjualan croffle.

 

Teori Porter’s 5 forces terdiri dari threat of new entrance, threat of substitute product, bargaining power of supplier, bargaining power of buyer, dan rivalry among existing competitor.  Teori Porter ini digunakan untuk mengetahui kekuatan industri melalui faktor eksternal, supaya industri bisa mencapai keuntungan maksimum.

 

Threat of new entrance bisnis croffle sangat tinggi, karena sekarang banyak pengusaha croffle baru yang berjualan dipinggir jalan hanya dengan kios kecil. Hal ini berarti untuk masuk ke dunia croffle tidak memerlukan modal besar, lokasi yang baik bukan masalah besar, dan distribusi produk yang mudah.

 

Pengusaha croffle umumnya hanya berjualan croflle saja, produknya tidak terdiferensiasi dengan baik, hal ini menyebabkan ancaman dari pendatang baru makin besar. Sedangkan ancaman untuk produk subsitusi produk croffle cenderung rendah, karena tidak ada produk yang benar-benar menggantikan croffle dari segi bentuk, rasa, dan tekstur. Memang sempat ada doffle atau donat waffle, dimana dari segi bentuk terlihat cukup mirip. Doffle juga sempat naik daun, akan tetapi konsumen lebih menyukasi croffle karena teksturnya yang renyah dan bikin nagih. Pada akhirnya, doffle bukanlah barang subsitusi yang mengancam keberadaan croflle

 

Daya tawar-menawar pembeli untuk produk croffle tidaklah tinggi karena harga croffle cenderung sudah tetap, jadi sulit untuk ditawar, tapi sensitivitas harga sangat memengaruhi daya beli konsumen. Bila ada harga croffle yang lebih murah dan enak, konsumen langsung berpindah hati ke brand tersebut.

 

Sedangkan switching cost dari konsumen cukup tinggi, tidak mengandalkan diskon untuk membeli bahan baku, jumlah supplier bahan baku croffle juga banyak, jadi industri croffle memiliki daya tawar-menawar pemasok yang rendah.

 

Untuk persaingan antar pengusaha croffle memiliki high exit barriers karena croffle dipengaruhi oleh tren, bila tren mulai pudar maka penjualan akan menurun. Industri croffle memiliki biaya tetap yang rellatif tinggi, dan biaya variable yang rendah karena hanya memproduksi satu jenis produk saja.

 

Selain itu industri croffle memiliki pertumbuhan industri yang lambat, tidak mudah bagi pengusaha croffle menjadi usaha yang besar dan sukses dalam waktu singkat, sehingga industri croffle memiliki tingkat kompetisi yang cukup tinggi.

 

Berdasarkan hasil analisis kekuatan dengan teori porter ini di dapati bahwa dalam industri croffle pesaing mudah masuk dan mudah keluar, kompetisi antar pengusaha sangat sengit, daya tawar pembeli masih memengaruhi penjualan croffle.

 

Untuk mengatasi persaingan yang ketat ini, pengusaha croffle harus menentukan target pasar tertentu, strategi ini menjadi kunci keberhasilan dari National Can and Crown Cork & Seal.

 

Dari Analisa dengan Teori Proter, Pengusaha Croffel dapat menggunakan strategi segmenting consumer dengan target pasar kelas atas, karena segmen pasar yang paling tinggi kompetisinya ada di tingkat menengah bawah. Aplikasi strategi pasar kelas atas bisa dilakukan dengan membuat croffle yang premium, menggunakan bahan-bahan terbaik, rasa yang enak dan khas, kemasan premium, customer service yang memadai, dan tempat yang instagramable.

 

Strategi dengan pembatasan segmen pasar menurunkan tingkat persaingan secara signifikan, mengakibatkan switching cost konsumen menurun, dan memiliki loyalti brand yang tinggi.

 

Jadi kesimpulannya, teori Porter memudahkan pengusaha croffle untuk menganalisis faktor eksternal, khususnya para kompetitor dalam lingkup yang sama, dan menentukan strategi yang diambil selanjutnya.

 

Strategi yang diperoleh untuk mengurangi persaingan sengit ini ialah dengan segmentasi konsumen, menjaga kualitas produk sesuai segmen, dan membangun loyalti brand yang kokoh di segmen pasarnya. Secara keseluruhan teori Porter sangat berguna bagi pengusaha croffle untuk menentukan startegi pemasaran yang tepat.

 

Swara Kamu merupakan wadah untuk menyalurkan inspirasi, edukasi, dan kreasi lewat tulisanmu. Kamu bisa menyampaikan pendapat, pemikiran, atau informasi menarik seputar finansial dan karier. Setiap artikel Swara Kamu menjadi tanggung jawab penulis karena merupakan opini pribadi penulis. Tim Swara tidak dapat menjamin validitas dan akurasi informasi yang ditulis oleh masing-masing penulis.

 

Ingin ikut berbagi inspirasi? Langsung daftarkan dirimu sebagai penulis Swara Kamu di sini!